Thursday, December 27, 2012

UANG RECEH MAHASISWAKU


UANG RECEH MAHASISWAKU

            “Bu, obat ini mahal sekali,” kata jururawat yang mengganti infus pagi itu.
            “O ya, berapa?” tanyaku
            “Sebotol ini harganya dua puluh juta rupiah,” jawabnya sambil terus bekerja.
            “Apa?!” teriakku.
            “Iya, bu,” jawab jururawat itu. “memang ibu belum tahu kalau harga obat ini sangat mahal?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng karena aku memang tidak diberi tahu bahwa obat itu sangat mahal. Padahal aku sudah mengonsumsi lebih dari empat botol. Darimana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar pengobatan ini. Aku menjadi sangat panik dan tidak tahu kepada siapa aku harus minta tolong saat itu.
            “Kenapa,bu?” tanya jururawat itu.
            Mungkin ia bingung melihat ekspresi wajahku yang berubah seketika. Mungkin pula ia sudah bisa mengetahui bahwa aku kelabakan degan harga yang harus kubayar. Apalagi aku masih harus mengonsumsi infus itu selama 3 hari lagi dan setiap hari 4 botol. Tidak mungkin aku bisa membayarnya. Dengan pertimbangan itu aku memita jururawat itu untuk menghentikan infus tersebut.
            “Suster, kelihatannya obat itu terlalu mahal bagiku dan aku mau berhenti saja dari pengobatan ini,” kataku
            “Tapi bu, infus ini tidak bisa dihentikan begitu saja,” kata jururawat itu.
            “Tapi aku tidak bisa membayarnya,” kataku
            “Saya akan tanya ke dokter dulu ya bu?” jawab jururawat itu.
            Sementara menunggu jururawat itu kembali aku menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku perbuat. Aku tidak mungkin minta uang sebanyak itu kepada keluargaku atau famili-familiku, sedangkan gajiku sebagai PNS jelas tidak mencukupi pembiayaan pengobatan yang semahal ini. Aku mencoba mengingat kawan-kawanku yang kira-kira dapat memberikan pertolongan di saat seperti ini tetapi tak satupun nama yang muncul di kepalaku. Dalam kepanikan dan kesendirianku, aku menutup mataku dan berdoa tanpa bisa mengatakan apa-apa.

            Setelah agak lama, aku menjadi sedikit tenang. Dalam hatiku muncul keyakinan bahwa Tuhan akan mencukupkan segala pembiayaan tersebut. Lalu kucoba meraih cellphoneku dan aku menelpon seorang pendeta yang sering melayaniku.
            “Ada apa Ria?” tanyanya
            “Ibu, aku dirawat di rumah sakit dan biaya pengobatannya sangat mahal. Tidak mungkin aku bisa membayarnya,” kataku sambil menahan tangis. Rasanya hatiku sangat sesak saat itu. Lama tak kudengar jawaban.
            “Ria, saya pikir kamu harus menghentikan pengobatan itu dan keluar dari rumah sakit itu karena tidak ada biaya,” kata pendeta itu. “saya akan berdoa untuk kamu,” sambungnya.
            “Tidak ibu,” jawabku. “aku yakin Tuhan akan mencukupkan semua kebutuhan pengobatan ini,” jawabku
            “Tapi bagaimana caranya Ria?” tanyanya lagi
            “Saya juga tidak tahu, ibu,” jawabku
            “Kalau Tuhan mau kamu sembuh, Dia dapat menyembuhkan kamu dengan cara lain,” kata pendeta itu.
            “Tidak ibu,” jawabku. “Tuhan bisa memberikan uang padaku untuk mencukupi kebutuhanku,” jawabku.
Aku tidak tahu apakah saat itu aku benar-benar beriman begitu atau aku hanya asal menjawab saja. Semuanya tidak jelas.
Lalu kami sama-sama diam tanpa jawaban. Telepon kututup setelah pendeta itu berdoa untukku. Aku kembali dalam kebingunganku. Sementara selang cairan plasma itu masih terus mengalir ke dalam tubuhku melalui selang-selang infus itu. Setiap kali aku memandang tetes demi tetes cairan kental yang jatuh memasuki selang itu, hatiku menjerit dalam kebingunganku. “Tuhan, apa yang harus kuperbuat?” jeritku dalam hati.
            Sore itu, selesai dimandikan, seorang jururawat memasuki kamarku dan mencopot selang infus tersebut.  Aku tak perlu bertanya apa-apa. Kupikir aku tahu mengapa selang infus itu harus dilepas. Aku tidak bisa berbuat apa-apa. Beberapa kawan dekat kuhubungi dan mereka berjanji untuk mengusahakan dana dan berdoa untukku. Walaupun belum menyelesaikan persoalan tetapi hadirnya mereka sangat menghiburku.
            Malam hari, selesai jam berkunjung, dokterku datang memasuki kamarku. Lalu ia memeriksaku dan bertanya,
“Ibu mengapa tidak mengatakan kepada saya kalau ibu tidak punya biaya untuk pengobatan ini?” Jujur pertanyaan itu terasa begitu menyakitkan dan sekaligus membuatku marah.
“Mengapa dokter tidak mengatakan kalau obat ini semahal itu?” kataku.
“Saya pikir ibu cukup mampu untuk membayarnya. Maafkan saya,” katanya.
Malam itu kulalui dengan pemikiran yang terangkum dalam mimpi buruk.

            Keesokan harinya, kira-kira jam sembilan pagi, seorang suster masuk ke dalam kamarku membawa sebotol obat infus yang kemarin dan mulai memasangnya di selang infusku.
            “Suster, kemarin saya sudah minta untuk berhenti dari infus ini. Apa suster belum diberi tahu?” tanyaku.
Suster itu tersenyum.
            “Saya disuruh oleh dokter,” jawabnya
            “Disuruh dokter?” tanyaku. “tapi aku tidak bisa membayarnya dan aku tidak mau berhutang,” jawabku.
            “Ibu belum tahu kalau ada seseorang yang membayarnya untuk ibu?” jawabnya
            “Tidak mungkin!” jawabku spontan
            “Kalau tidak, pasti saya tidak akan memberikan obat infus ini kepada ibu,” sahut suster itu. “saya juga tidak punya uang untuk membayar harga obat ini,” sambungnya.
            Aku terdiam mendengar jawaban suster itu. Antara percaya dan tidak percaya aku membiarkan cairan infus itu kemali memasuki tubuhku dan menyatu dengan darahku. “Bagaimana mungkin?” pikirku.
            “Siapa yang membayarnya, suster?” tanyaku
            “Kami mendapat surat bahwa semua pengobatan atas nama ibu masuk ke rekening Bapak Dermawan”.
            “Bapak Dermawan? Siapa itu?” tanyaku. Aku merasa tidak pernah mengenal nama itu apalagi mengenal orangnya.
            “Seorang pengusaha besar,” jawab jururawat itu
            “Tapi aku tidak mengenalnya, bagaimana dia bisa mengetahui aku sakit dan dia mau membayar pengobatanku?” tanyaku penasaran.
            “Sudahlah bu, syukuri saja. Mungkin ia tergerak saat nama ibu didoakan di gereja”, jawabnya sambil meninggalkan kamarku.
Lagi-lagi aku menangis tanpa kata-kata. Aku tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Yang aku tahu hanyalah ada seseorang bernama pak Dermawan yang digerakkan Tuhan untuk membiayai pengobatanku. Aku merasa sangat berhutang budi kepada pak Dermawan yang telah tergerak memberikan bantuan kepadaku, seorang yang tidak dikenalnya. Dia sangat berjasa buatku. Tak henti-hentinya aku bersyukur kepada Tuhan untuk kasih dan kebaikan-Nya padaku. 

            Satu minggu kemudian, aku boleh keluar dari rumah sakit. Selain beberapa teman doaku tidak ada orang yang mengetahui apa yang terjadi. Tetapi kemudian masalah berikutnya muncul karena selesai rawat inap itu, aku masih harus minum obat rutin selama enam bulan. Sekali lagi aku berhadapan dengan kebutuhan dana yang besar karena harga obat itu, walaupun tidak semahal obat infuse itu tetapi cukup mahal bagiku. Bantuan dari pak Dermawan pun tidak mencakup pembiayaan obat saat rawat jalan. Jadi aku harus membayarnya sendiri. Kembali aku masuk dalam kebingungan.

Satu hari, aku sedang duduk di ruang kerjaku saat beberapa orang mahasiswa masuk ke dalam ruanganku dengan membawah sebuah amplop ukuran A4.
            “Ibu, ini untuk ibu,” kata salah seorang dari mereka
            “Apa ini?” tanyaku
            “Itu uang receh kami,” jawabnya
            “Maksudnya?” tanyaku tidak mengerti
            “Ibu, kami mendengar ibu sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat. Ini adalah saweran kami untuk ibu. Berharap dapat meringankan beban ibu,” jawabnya

            Tak terasa airmataku mengalir di pipi. Aku tak menduga akan mendapat kejutan yang begitu mengagetkan bagiku.
            “Terimalah, bu,” katanya. “kami tahu ibu membutuhkannya,” sambungnya.
Kuterima amplop itu. Setelah mereka keluar dari ruanganku kubuka amplop coklat yang sudah agak dekil itu. Kukeluarkan isinya. Benar-benar uang receh, tapi sangat banyak. Uang itu ada yang bernilai besar, ada pula yang lecek dilipat-lipat, bahkan diantaranya ada uang logam. Kuhitung jumlahnya dan ajaib, jumlahnya tepat sama dengan uang yang kubutuhkan untuk membeli obat seminggu itu. Aku terharu dan hanya bisa menangis. “Terima-kasih Tuhan,” memang hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan saat itu. Aku tak menduga bahwa mahasiswa-mahasiswaku mempunyai hati dan perhatian yang sedemikian besar kepadaku. Tidak semua dari mereka orang kaya tetapi mereka menyisihkan apa yang ada pada mereka untukku. Aku sungguh sangat terharu kalau mengingat hal itu.  Aku tak pernah menduganya. Itu hal yag sangat luar biasa bagiku.
            Peristiwa yang sama itu terus terjadi selama enam bulan sampai aku dinyatakan sembuh oleh dokter dan tidak perlu mengonsumsi obat itu lagi. Tiap minggu selalu saja ada beberapa mahasiswa yang datang kepadaku membawa “uang receh” mereka dan itu selalu cukup untuk aku membeli obat yang kubutuhkan. Amazing!!!
Bantuan pak Dermawan dan uang receh mahasiswaku tak akan pernah kulupakan. Mereka semua telah dipakai Tuhan untuk mencukupkan kebutuhanku. Aku sangat bersyukur kepada  Tuhan dan sangat berterima kasih kepada pak Dermawan dan juga kepada mahasiswaku. Aku tak akan pernah melupakannya. Terima-kasih banyak.


            

No comments:

Post a Comment