UANG RECEH MAHASISWAKU
“Bu,
obat ini mahal sekali,” kata jururawat yang mengganti infus pagi itu.
“O
ya, berapa?” tanyaku
“Sebotol
ini harganya dua puluh juta rupiah,” jawabnya sambil terus bekerja.
“Apa?!”
teriakku.
“Iya,
bu,” jawab jururawat itu. “memang ibu belum tahu kalau harga obat ini sangat
mahal?” tanyanya lagi.
Aku menggeleng karena aku memang tidak
diberi tahu bahwa obat itu sangat mahal. Padahal aku sudah mengonsumsi lebih
dari empat botol. Darimana aku bisa mendapatkan uang untuk membayar pengobatan
ini. Aku menjadi sangat panik dan tidak tahu kepada siapa aku harus minta
tolong saat itu.
“Kenapa,bu?”
tanya jururawat itu.
Mungkin
ia bingung melihat ekspresi wajahku yang berubah seketika. Mungkin pula ia
sudah bisa mengetahui bahwa aku kelabakan degan harga yang harus kubayar.
Apalagi aku masih harus mengonsumsi infus itu selama 3 hari lagi dan setiap
hari 4 botol. Tidak mungkin aku bisa membayarnya. Dengan pertimbangan itu aku
memita jururawat itu untuk menghentikan infus tersebut.
“Suster,
kelihatannya obat itu terlalu mahal bagiku dan aku mau berhenti saja dari
pengobatan ini,” kataku
“Tapi
bu, infus ini tidak bisa dihentikan begitu saja,” kata jururawat itu.
“Tapi
aku tidak bisa membayarnya,” kataku
“Saya
akan tanya ke dokter dulu ya bu?” jawab jururawat itu.
Sementara
menunggu jururawat itu kembali aku menangis. Aku tidak tahu apa yang harus aku
perbuat. Aku tidak mungkin minta uang sebanyak itu kepada keluargaku atau famili-familiku,
sedangkan gajiku sebagai PNS jelas tidak mencukupi pembiayaan pengobatan yang
semahal ini. Aku mencoba mengingat kawan-kawanku yang kira-kira dapat
memberikan pertolongan di saat seperti ini tetapi tak satupun nama yang muncul
di kepalaku. Dalam kepanikan dan kesendirianku, aku menutup mataku dan berdoa
tanpa bisa mengatakan apa-apa.
Setelah
agak lama, aku menjadi sedikit tenang. Dalam hatiku muncul keyakinan bahwa
Tuhan akan mencukupkan segala pembiayaan tersebut. Lalu kucoba meraih
cellphoneku dan aku menelpon seorang pendeta yang sering melayaniku.
“Ada
apa Ria?” tanyanya
“Ibu,
aku dirawat di rumah sakit dan biaya pengobatannya sangat mahal. Tidak mungkin aku
bisa membayarnya,” kataku sambil menahan tangis. Rasanya hatiku sangat sesak
saat itu. Lama tak kudengar jawaban.
“Ria,
saya pikir kamu harus menghentikan pengobatan itu dan keluar dari rumah sakit
itu karena tidak ada biaya,” kata pendeta itu. “saya akan berdoa untuk kamu,”
sambungnya.
“Tidak
ibu,” jawabku. “aku yakin Tuhan akan mencukupkan semua kebutuhan pengobatan ini,”
jawabku
“Tapi
bagaimana caranya Ria?” tanyanya lagi
“Saya
juga tidak tahu, ibu,” jawabku
“Kalau
Tuhan mau kamu sembuh, Dia dapat menyembuhkan kamu dengan cara lain,” kata
pendeta itu.
“Tidak
ibu,” jawabku. “Tuhan bisa memberikan uang padaku untuk mencukupi kebutuhanku,”
jawabku.
Aku tidak tahu apakah saat itu aku
benar-benar beriman begitu atau aku hanya asal menjawab saja. Semuanya tidak
jelas.
Lalu kami sama-sama diam tanpa jawaban.
Telepon kututup setelah pendeta itu berdoa untukku. Aku kembali dalam
kebingunganku. Sementara selang cairan plasma itu masih terus mengalir ke dalam
tubuhku melalui selang-selang infus itu. Setiap kali aku memandang tetes demi
tetes cairan kental yang jatuh memasuki selang itu, hatiku menjerit dalam
kebingunganku. “Tuhan, apa yang harus kuperbuat?” jeritku dalam hati.
Sore
itu, selesai dimandikan, seorang jururawat memasuki kamarku dan mencopot selang
infus tersebut. Aku tak perlu bertanya
apa-apa. Kupikir aku tahu mengapa selang infus itu harus dilepas. Aku tidak
bisa berbuat apa-apa. Beberapa kawan dekat kuhubungi dan mereka berjanji untuk
mengusahakan dana dan berdoa untukku. Walaupun belum menyelesaikan persoalan
tetapi hadirnya mereka sangat menghiburku.
Malam
hari, selesai jam berkunjung, dokterku datang memasuki kamarku. Lalu ia
memeriksaku dan bertanya,
“Ibu mengapa tidak mengatakan kepada saya
kalau ibu tidak punya biaya untuk pengobatan ini?” Jujur pertanyaan itu terasa
begitu menyakitkan dan sekaligus membuatku marah.
“Mengapa dokter tidak mengatakan kalau
obat ini semahal itu?” kataku.
“Saya pikir ibu cukup mampu untuk
membayarnya. Maafkan saya,” katanya.
Malam itu kulalui dengan pemikiran yang
terangkum dalam mimpi buruk.
Keesokan
harinya, kira-kira jam sembilan pagi, seorang suster masuk ke dalam kamarku
membawa sebotol obat infus yang kemarin dan mulai memasangnya di selang infusku.
“Suster,
kemarin saya sudah minta untuk berhenti dari infus ini. Apa suster belum diberi
tahu?” tanyaku.
Suster itu tersenyum.
“Saya
disuruh oleh dokter,” jawabnya
“Disuruh
dokter?” tanyaku. “tapi aku tidak bisa membayarnya dan aku tidak mau berhutang,”
jawabku.
“Ibu
belum tahu kalau ada seseorang yang membayarnya untuk ibu?” jawabnya
“Tidak
mungkin!” jawabku spontan
“Kalau
tidak, pasti saya tidak akan memberikan obat infus ini kepada ibu,” sahut
suster itu. “saya juga tidak punya uang untuk membayar harga obat ini,”
sambungnya.
Aku
terdiam mendengar jawaban suster itu. Antara percaya dan tidak percaya aku
membiarkan cairan infus itu kemali memasuki tubuhku dan menyatu dengan darahku.
“Bagaimana mungkin?” pikirku.
“Siapa
yang membayarnya, suster?” tanyaku
“Kami
mendapat surat bahwa semua pengobatan atas nama ibu masuk ke rekening Bapak
Dermawan”.
“Bapak
Dermawan? Siapa itu?” tanyaku. Aku merasa tidak pernah mengenal nama itu
apalagi mengenal orangnya.
“Seorang
pengusaha besar,” jawab jururawat itu
“Tapi
aku tidak mengenalnya, bagaimana dia bisa mengetahui aku sakit dan dia mau
membayar pengobatanku?” tanyaku penasaran.
“Sudahlah
bu, syukuri saja. Mungkin ia tergerak saat nama ibu didoakan di gereja”, jawabnya
sambil meninggalkan kamarku.
Lagi-lagi aku menangis tanpa kata-kata.
Aku tidak mengerti bagaimana hal ini bisa terjadi. Yang aku tahu hanyalah ada
seseorang bernama pak Dermawan yang digerakkan Tuhan untuk membiayai
pengobatanku. Aku merasa sangat berhutang budi kepada pak Dermawan yang telah tergerak memberikan bantuan kepadaku, seorang yang tidak dikenalnya. Dia sangat berjasa buatku. Tak henti-hentinya aku
bersyukur kepada Tuhan untuk kasih dan kebaikan-Nya padaku.
Satu
minggu kemudian, aku boleh keluar dari rumah sakit. Selain beberapa teman doaku
tidak ada orang yang mengetahui apa yang terjadi. Tetapi kemudian masalah
berikutnya muncul karena selesai rawat inap itu, aku masih harus minum obat
rutin selama enam bulan. Sekali lagi aku berhadapan dengan kebutuhan dana yang
besar karena harga obat itu, walaupun tidak semahal obat infuse itu tetapi
cukup mahal bagiku. Bantuan dari pak Dermawan pun tidak mencakup pembiayaan
obat saat rawat jalan. Jadi aku harus membayarnya sendiri. Kembali aku masuk
dalam kebingungan.
Satu hari, aku sedang duduk di ruang
kerjaku saat beberapa orang mahasiswa masuk ke dalam ruanganku dengan membawah
sebuah amplop ukuran A4.
“Ibu,
ini untuk ibu,” kata salah seorang dari mereka
“Apa
ini?” tanyaku
“Itu
uang receh kami,” jawabnya
“Maksudnya?”
tanyaku tidak mengerti
“Ibu,
kami mendengar ibu sakit dan membutuhkan biaya untuk berobat. Ini adalah
saweran kami untuk ibu. Berharap dapat meringankan beban ibu,” jawabnya
Tak
terasa airmataku mengalir di pipi. Aku tak menduga akan mendapat kejutan yang
begitu mengagetkan bagiku.
“Terimalah,
bu,” katanya. “kami tahu ibu membutuhkannya,” sambungnya.
Kuterima amplop itu. Setelah mereka keluar
dari ruanganku kubuka amplop coklat yang sudah agak dekil itu. Kukeluarkan
isinya. Benar-benar uang receh, tapi sangat banyak. Uang itu ada yang bernilai
besar, ada pula yang lecek dilipat-lipat, bahkan diantaranya ada uang logam. Kuhitung
jumlahnya dan ajaib, jumlahnya tepat sama dengan uang yang kubutuhkan untuk
membeli obat seminggu itu. Aku terharu dan hanya bisa menangis. “Terima-kasih
Tuhan,” memang hanya kalimat itu yang bisa kuucapkan saat itu. Aku tak menduga
bahwa mahasiswa-mahasiswaku mempunyai hati dan perhatian yang sedemikian besar
kepadaku. Tidak semua dari mereka orang kaya tetapi mereka menyisihkan apa yang
ada pada mereka untukku. Aku sungguh sangat terharu kalau mengingat hal itu. Aku tak pernah menduganya. Itu hal yag sangat
luar biasa bagiku.
Peristiwa
yang sama itu terus terjadi selama enam bulan sampai aku dinyatakan sembuh oleh
dokter dan tidak perlu mengonsumsi obat itu lagi. Tiap minggu selalu saja ada beberapa
mahasiswa yang datang kepadaku membawa “uang receh” mereka dan itu selalu cukup
untuk aku membeli obat yang kubutuhkan. Amazing!!!
Bantuan pak Dermawan dan uang receh mahasiswaku tak akan pernah kulupakan. Mereka semua telah dipakai Tuhan
untuk mencukupkan kebutuhanku. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan dan sangat berterima kasih kepada pak Dermawan dan juga kepada mahasiswaku. Aku tak akan pernah melupakannya. Terima-kasih banyak.
No comments:
Post a Comment