Saturday, January 19, 2013

DIA AKAN SEGERA MENIKAH


19
DIA AKAN SEGERA MENIKAH

            Ya, dia akan menikah. Apalagi yang perlu ditunggu. Sepertinya tak ada yang kurang padanya. Dia terkenal jenius, menyelesaikan jenjang S1 nya dalam waktu 4 tahun dengan predikat cumlaude. Sepertinya tidak ada dosen yang tidak mengenalnya. Aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pernah menjadi mahasiswa berprestasi. Sekarang ia sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi, punya rumah sendiri, punya mobil tidak hanya satu. Dipandang dari fisiknya, ia cukup ganteng, putih, tinggi dengan rambut ikal. Perangainya … jangan ditanya lagi, dia ramah, rendah hati dan siap menolong siapa saja yang membutuhkan. Berasal dari keluarga berpendidikan dan tidak mempunyai bad record. Tidak sedikit gadis-gadis yang mendekatinya dari berbagai kalangan. Dan sekarang ia telah menemukan gadis idamannya. Cantik … sangat cantik, baik dan juga pintar. Jadi apa lagi yang harus ditunggu. Mereka siap untuk menikah.

            “Kamu bantu aku ya Ria,” katanya suatu kali.
O iya aku lupa menyebutkan namanya. Ia bernama Okto, lahir di bulan Oktober, tepat pada saat hujan lebat katanya. Ia adalah sahabat baikku.
            “Apa yang bisa kubantu?” tanyaku.
            “Ya, apa saja boleh. Menginventaris nama dan alamat teman-teman kita, mempersiapkan acara dan sebagainya …. pasti banyak yang bisa kamu buat,” katanya.
            “Oke …. oke …. apa sih yang ga aku buat untukmu?” jawabku.
Kami tertawa bersama mengingat bagaimana selama ini kami sering bekerja sama dalam banyak hal.

            “Ria, aku dibiayai oleh perusahaan untuk sekolah di Belanda selama tiga tahun”, katanya suatu hari.
            “Lalu, bagaimana dengan pernikahanmu?” tanyaku
            “Kalau bisa, aku ingin menikah dulu, lalu aku pergi dan istriku akan menyusul. Siapa tahu dia juga bisa meneruskan studinya di sana,” jawabnya
            “Cieee yang punya istri,” ledekku
            “Iya, kan sebentar lagi sang princess akan menjadi istriku hehe ….,” jawabnya sambil tertawa. Ia kelihatan bahagia sekali.
            Temanku yang satu ini tampak selalu berhasil dalam hidupnya. Sepertinya ia tidak pernah mendapatkan kegagalan. Semua yang ia inginkan selalu dapat ia peroleh. Orangnya terkenal baik lagi. Betapa beruntungnya orang yang akan mendampinginya nanti, pikirku.

            “He, mikir apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku
            “Mikir kamu mau punya istri hahaha,” jawabku
            “Emang lucu gitu kalau aku punya istri?” tanyanya
            “Lucu banget,” jawabku
Kami kembali tertawa bersama. Mungkin sudah saatnya persahabatan kami tidak akan sedekat dulu lagi, begitu pikirku. Sebentar lagi dia akan sibuk dengan studi, pekerjaan, istri dan anak-anaknya.
            “Kamu tahu tidak rencanaku selanjutnya?” tanyanya
            “Tidak,” jawabku
            “Aku akan meminta orangtuaku tinggal di rumahku yang sekarang dan mobilku akan kuberikan kepada adikku yang kecil”, ceritanya
            “Kalau nanti kamu sudah selesai studi bagaimana?” tanyaku
            “Itu dipikirkan nanti,” jawabnya. “kupikir aku akan bisa mendapatkan rumah dan mobil yang lain lagi waktu aku kembali ke sini.” sambungnya.

            Beruntung benar sahabatku ini, pikirku. Dia benar-benar punya segalanya yang didambakan oleh manusia pada umumnya. Jebolan dari universitas negeri terkenal, pintar, punya rumah, punya kedudukan tinggi, punya calon istri cantik dan punya masa depan yang sangat terbuka lebar di depan.

            Satu bulan menjelang hari pernikahannya, kami sibuk sekali mempersiapkan segala pernak-pernik pernikahan. Okto sendiri tidak bisa terlibat banyak dalam persiapan ini karena dia masih harus bekerja dan mempersiapkan segala keperluannya untuk melanjutkan studinya ke Belanda.

            Pagi itu, aku berada di rumahnya. Aku berencana untuk pergi bersama ibunya mengambil pesanan ucapan terima kasih yang dipesannya. Tiba-tiba kulihat dia pulang ke rumah dan duduk di kursi sambil memegangi kakinya.
            “Kok pulang To? Ada yang tertinggal?” tanya ibunya
            “Kakiku terasa pegal sekali,” jawabnya.
            Mama Okto mendekatinya dan mencoba memeriksa pergelangan kaki kanan Okto yang dikeluhkan pegal itu.
            “Oh, mungkin kamu terlalu jauh membawa mobil kemarin,” kata mamanya.
Mamanya masuk ke dalam sebentar dan mengambil parem kocok. Kemudian dia mengurut kaki Okto dengan parem kocok itu dan menuntun Okto masuk ke kamarnya.
            “Sudah tidur saja, nanti juga sembuh sendiri,” kata mamanya. “kami mau pergi sebentar mengambil pesanan ucapan terima kasih yang kau pesan. Hari ini sudah jadi.”
Kamipun berangkat pergi meninggalkan Okto bersama dengan pembantu dan anjing kesayangannya.

            Sore hari ketika kami pulang, pembantu Okto membukakan pintu dan melapor:”Ibu, mas Okto katanya ga bisa jalan, dari tadi tidak turun dari tempat tidur.”
            “Apa?!” bergegas kami masuk ke kamar Okto.
            Di situ Okto masih terbaring sambil memegangi kakinya.
            “Kenapa, Okto?” tanya mama Okto
            “Kakiku lemas sekali rasanya. Tadi kucoba untuk berdiripun tidak bisa,” jawab Okto
            “Kalau begitu kita harus segera ke dokter,” kata mamanya
Lalu dengan dibantu oleh adik-adik Okto, mereka pergi ke dokter dan aku pamitan untuk pulang.

            Keesokan harinya aku mendapat kabar bahwa Okto dirawat di rumah sakit. Bergegas aku pergi menengoknya. Di situ aku menjumpai mama, papa Okto dan juga calon istrinya mengelilingi tempat tidur dimana Okto terbaring.
            “Bagaimana tante, apa yang terjadi?” tanyaku
Mamanya tidak menjawab dan mulai menangis.
            “Kaki Okto lumpuh,” katanya terbata-bata
            “Hah, kok bisa?” tanyaku
            “Kena virus. Penyakit itu langka dan kemungkinan sembuh sangat kecil. Kelumpuhannya akan terus merambat ke bagian tubuh yang lain”, terusnya.
Aku terdiam.
            “Kami akan membawanya ke Cina. Katanya di sana ada terapi untuk penyakit macam ini,” kata mamanya lagi.
Jadilah dalam minggu itu juga, Okto dan orangtuanya berangkat ke Cina untuk berobat.

            Tiga bulan sudah berlalu sejak saat itu, aku mendengar bahwa Okto sudah  kembali ke Jakarta dan dirawat di rumah sakit. Ketika aku menengoknya, dia terlihat sangat kurus. Ia terbaring di tempat tidur rumah sakit tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Setiap hari ada perawat yang memberikan terapi-terapi kepadanya.
            “Ria,” katanya suatu kali
            “Ya, Okto, kenapa?” tanyaku
            “Dulu aku merasa bahwa aku bisa segalanya. Semua aku punya dan aku merasa mampu untuk mengejar apa saja yang aku inginkan. Tapi sekarang, aku merasa tak berdaya. Dulu aku tidak pernah memikirkan tentang Tuhan, aku merasa bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi sekarang? Baru aku menyadari bahwa hanya Tuhan yang bisa membuat kita mampu. Apalagi mau menikah dan sekolah, menggerakkan ujung jempolpun aku tidak bisa,” begitu ceritanya dengan terbata-bata. Dan itulah kata-kata terakhir yang kudengar dari Okto. Keesokan harinya Okto lumpuh total. Berbicarapun ia tidak bisa. Ia dirawat di ruang kaca yang diisolasi dari pasien lain. Hanya mama, dokter dan perawat yang boleh masuk ke situ.

            “Ria, aku mau bicara denganmu,” kata Inggrid, tunangan Okto satu kali, selang beberapa bulan kemudian
            “Bicara aja Nggrid, ada apa?” jawabku
Aku mendengar cerita dari mama Okto bahwa sejak Okto pulang dari Cina, Inggrid tidak pernah lagi menengok Okto, tanpa kabar.
            “Aku mau menikah, Ria,” katanya
            “Hah?!” seruku. “dengan Okto? Bagaimana bisa?” tanyaku kemudian.
            “Enggaklah, aku mau menikah dengan orang lain,” jawabnya
Hatiku trenyuh mendengarnya. Bagaimana kalau Okto tahu hal ini, pikirku.
            “Sudah bilang pada Okto?” tanyaku
            “Kurasa tidak perlu,” jawabnya. “Sejak pulang dari Cina dan aku tidak pernah menengoknya lagi, tentu dia sudah mengerti keputusanku.”
            “Lho, kok? Kan kalian sudah mau menikah saat itu?” tanyaku
            “Siapa yang mau menikah dengan orang yang lumpuh begitu?” jawabnya.
Aku terdiam, teringat kesibukan kami mempersiapkan pernikahan Okto saat itu. Inggrid memberikan dua undangan buatku.
            “Tolong berikan satu kepada Okto,” katanya.

            Lima tahun kemudian, aku berdiri di depan sebuah liang lahat penuh bunga. Tubuh kaku Okto yang sudah tak bernyawa diturunkan ke dalamnya, diiringi isak tangis keluarga dan para kerabat. Lima tahun dia berbaring di ruang kaca rumah sakit tanpa bisa berbicara dan tidak bisa menggerakkan satu anggota badannya yang paling kecil sekalipun. Aku teringat apa yang dikatakannya terakhir kali padaku. “Kalau kita bisa, itu hanya karena Tuhan,” begitu katanya saat itu.

            Sebelum liang lahat itu ditimbun tanah, orang-orang menaburkan bunga. Kulihat mama Okto mendekat ke liang itu dengan membawa satu dos berisi undangan pernikahan Okto yang sudah sempat dicetak sebelum Okto sakit. Ia menaburkan semua undangan-undangan itu ke dalam liang lahat. Akupun mendekat ke liang lahat itu. Kutaburkan bunga. Dan diam-diam kujatuhkan juga sebuah undangan pernikahan ke dalamnya. Undangan pernikahan yang lain dengan irisan nama yang sama. Undangan pernikahan Inggrid yang tak pernah kuberikan kepada Okto. Biarlah terkubur di situ … Selamat beristirahat, sahabatku.

No comments:

Post a Comment