19
DIA
AKAN SEGERA MENIKAH
Ya, dia akan menikah. Apalagi yang
perlu ditunggu. Sepertinya tak ada yang kurang padanya. Dia terkenal jenius, menyelesaikan
jenjang S1 nya dalam waktu 4 tahun dengan predikat cumlaude. Sepertinya tidak
ada dosen yang tidak mengenalnya. Aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pernah
menjadi mahasiswa berprestasi. Sekarang ia sudah mendapatkan pekerjaan dengan
gaji yang cukup tinggi, punya rumah sendiri, punya mobil tidak hanya satu. Dipandang
dari fisiknya, ia cukup ganteng, putih, tinggi dengan rambut ikal. Perangainya …
jangan ditanya lagi, dia ramah, rendah hati dan siap menolong siapa saja yang
membutuhkan. Berasal dari keluarga berpendidikan dan tidak mempunyai bad
record. Tidak sedikit gadis-gadis yang mendekatinya dari berbagai kalangan. Dan
sekarang ia telah menemukan gadis idamannya. Cantik … sangat cantik, baik dan
juga pintar. Jadi apa lagi yang harus ditunggu. Mereka siap untuk menikah.
“Kamu bantu aku ya Ria,” katanya
suatu kali.
O iya
aku lupa menyebutkan namanya. Ia bernama Okto, lahir di bulan Oktober, tepat
pada saat hujan lebat katanya. Ia adalah sahabat baikku.
“Apa yang bisa kubantu?” tanyaku.
“Ya, apa saja boleh. Menginventaris
nama dan alamat teman-teman kita, mempersiapkan acara dan sebagainya …. pasti
banyak yang bisa kamu buat,” katanya.
“Oke …. oke …. apa sih yang ga aku
buat untukmu?” jawabku.
Kami
tertawa bersama mengingat bagaimana selama ini kami sering bekerja sama dalam
banyak hal.
“Ria, aku dibiayai oleh perusahaan
untuk sekolah di Belanda selama tiga tahun”, katanya suatu hari.
“Lalu, bagaimana dengan
pernikahanmu?” tanyaku
“Kalau bisa, aku ingin menikah dulu,
lalu aku pergi dan istriku akan menyusul. Siapa tahu dia juga bisa meneruskan
studinya di sana,” jawabnya
“Cieee yang punya istri,” ledekku
“Iya, kan sebentar lagi sang princess
akan menjadi istriku hehe ….,” jawabnya sambil tertawa. Ia kelihatan bahagia
sekali.
Temanku yang satu ini tampak selalu
berhasil dalam hidupnya. Sepertinya ia tidak pernah mendapatkan kegagalan.
Semua yang ia inginkan selalu dapat ia peroleh. Orangnya terkenal baik lagi. Betapa
beruntungnya orang yang akan mendampinginya nanti, pikirku.
“He, mikir apa?” tanyanya
membuyarkan lamunanku
“Mikir kamu mau punya istri hahaha,”
jawabku
“Emang lucu gitu kalau aku punya
istri?” tanyanya
“Lucu banget,” jawabku
Kami
kembali tertawa bersama. Mungkin sudah saatnya persahabatan kami tidak akan
sedekat dulu lagi, begitu pikirku. Sebentar lagi dia akan sibuk dengan studi, pekerjaan,
istri dan anak-anaknya.
“Kamu tahu tidak rencanaku
selanjutnya?” tanyanya
“Tidak,” jawabku
“Aku akan meminta orangtuaku tinggal
di rumahku yang sekarang dan mobilku akan kuberikan kepada adikku yang kecil”,
ceritanya
“Kalau nanti kamu sudah selesai
studi bagaimana?” tanyaku
“Itu dipikirkan nanti,” jawabnya. “kupikir
aku akan bisa mendapatkan rumah dan mobil yang lain lagi waktu aku kembali ke
sini.” sambungnya.
Beruntung benar sahabatku ini,
pikirku. Dia benar-benar punya segalanya yang didambakan oleh manusia pada
umumnya. Jebolan dari universitas negeri terkenal, pintar, punya rumah, punya
kedudukan tinggi, punya calon istri cantik dan punya masa depan yang sangat
terbuka lebar di depan.
Satu bulan menjelang hari
pernikahannya, kami sibuk sekali mempersiapkan segala pernak-pernik pernikahan.
Okto sendiri tidak bisa terlibat banyak dalam persiapan ini karena dia masih
harus bekerja dan mempersiapkan segala keperluannya untuk melanjutkan studinya
ke Belanda.
Pagi itu, aku berada di rumahnya.
Aku berencana untuk pergi bersama ibunya mengambil pesanan ucapan terima kasih
yang dipesannya. Tiba-tiba kulihat dia pulang ke rumah dan duduk di kursi
sambil memegangi kakinya.
“Kok pulang To? Ada yang tertinggal?”
tanya ibunya
“Kakiku terasa pegal sekali,”
jawabnya.
Mama Okto mendekatinya dan mencoba
memeriksa pergelangan kaki kanan Okto yang dikeluhkan pegal itu.
“Oh, mungkin kamu terlalu jauh
membawa mobil kemarin,” kata mamanya.
Mamanya
masuk ke dalam sebentar dan mengambil parem kocok. Kemudian dia mengurut kaki
Okto dengan parem kocok itu dan menuntun Okto masuk ke kamarnya.
“Sudah tidur saja, nanti juga sembuh
sendiri,” kata mamanya. “kami mau pergi sebentar mengambil pesanan ucapan
terima kasih yang kau pesan. Hari ini sudah jadi.”
Kamipun
berangkat pergi meninggalkan Okto bersama dengan pembantu dan anjing kesayangannya.
Sore hari ketika kami pulang,
pembantu Okto membukakan pintu dan melapor:”Ibu, mas Okto katanya ga bisa
jalan, dari tadi tidak turun dari tempat tidur.”
“Apa?!” bergegas kami masuk ke kamar
Okto.
Di situ Okto masih terbaring sambil
memegangi kakinya.
“Kenapa, Okto?” tanya mama Okto
“Kakiku lemas sekali rasanya. Tadi
kucoba untuk berdiripun tidak bisa,” jawab Okto
“Kalau begitu kita harus segera ke
dokter,” kata mamanya
Lalu
dengan dibantu oleh adik-adik Okto, mereka pergi ke dokter dan aku pamitan
untuk pulang.
Keesokan harinya aku mendapat kabar
bahwa Okto dirawat di rumah sakit. Bergegas aku pergi menengoknya. Di situ aku
menjumpai mama, papa Okto dan juga calon istrinya mengelilingi tempat tidur
dimana Okto terbaring.
“Bagaimana tante, apa yang terjadi?”
tanyaku
Mamanya
tidak menjawab dan mulai menangis.
“Kaki Okto lumpuh,” katanya
terbata-bata
“Hah, kok bisa?” tanyaku
“Kena virus. Penyakit itu langka dan
kemungkinan sembuh sangat kecil. Kelumpuhannya akan terus merambat ke bagian
tubuh yang lain”, terusnya.
Aku
terdiam.
“Kami akan membawanya ke Cina.
Katanya di sana ada terapi untuk penyakit macam ini,” kata mamanya lagi.
Jadilah
dalam minggu itu juga, Okto dan orangtuanya berangkat ke Cina untuk berobat.
Tiga bulan sudah berlalu sejak saat
itu, aku mendengar bahwa Okto sudah kembali ke Jakarta dan dirawat di rumah sakit.
Ketika aku menengoknya, dia terlihat sangat kurus. Ia terbaring di tempat tidur
rumah sakit tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Setiap hari ada perawat
yang memberikan terapi-terapi kepadanya.
“Ria,” katanya suatu kali
“Ya, Okto, kenapa?” tanyaku
“Dulu aku merasa bahwa aku bisa
segalanya. Semua aku punya dan aku merasa mampu untuk mengejar apa saja yang
aku inginkan. Tapi sekarang, aku merasa tak berdaya. Dulu aku tidak pernah
memikirkan tentang Tuhan, aku merasa bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi
sekarang? Baru aku menyadari bahwa hanya Tuhan yang bisa membuat kita mampu. Apalagi
mau menikah dan sekolah, menggerakkan ujung jempolpun aku tidak bisa,” begitu
ceritanya dengan terbata-bata. Dan itulah kata-kata terakhir yang kudengar dari
Okto. Keesokan harinya Okto lumpuh total. Berbicarapun ia tidak bisa. Ia
dirawat di ruang kaca yang diisolasi dari pasien lain. Hanya mama, dokter dan
perawat yang boleh masuk ke situ.
“Ria, aku mau bicara denganmu,” kata
Inggrid, tunangan Okto satu kali, selang beberapa bulan kemudian
“Bicara aja Nggrid, ada apa?”
jawabku
Aku
mendengar cerita dari mama Okto bahwa sejak Okto pulang dari Cina, Inggrid
tidak pernah lagi menengok Okto, tanpa kabar.
“Aku mau menikah, Ria,” katanya
“Hah?!” seruku. “dengan Okto?
Bagaimana bisa?” tanyaku kemudian.
“Enggaklah, aku mau menikah dengan
orang lain,” jawabnya
Hatiku
trenyuh mendengarnya. Bagaimana kalau Okto tahu hal ini, pikirku.
“Sudah bilang pada Okto?” tanyaku
“Kurasa tidak perlu,” jawabnya. “Sejak
pulang dari Cina dan aku tidak pernah menengoknya lagi, tentu dia sudah
mengerti keputusanku.”
“Lho, kok? Kan kalian sudah mau
menikah saat itu?” tanyaku
“Siapa yang mau menikah dengan orang
yang lumpuh begitu?” jawabnya.
Aku
terdiam, teringat kesibukan kami mempersiapkan pernikahan Okto saat itu.
Inggrid memberikan dua undangan buatku.
“Tolong berikan satu kepada Okto,”
katanya.
Lima tahun kemudian, aku berdiri di
depan sebuah liang lahat penuh bunga. Tubuh kaku Okto yang sudah tak bernyawa diturunkan
ke dalamnya, diiringi isak tangis keluarga dan para kerabat. Lima tahun dia berbaring
di ruang kaca rumah sakit tanpa bisa berbicara dan tidak bisa menggerakkan satu
anggota badannya yang paling kecil sekalipun. Aku teringat apa yang
dikatakannya terakhir kali padaku. “Kalau kita bisa, itu hanya karena Tuhan,”
begitu katanya saat itu.
Sebelum liang lahat itu ditimbun
tanah, orang-orang menaburkan bunga. Kulihat mama Okto mendekat ke liang itu
dengan membawa satu dos berisi undangan pernikahan Okto yang sudah sempat
dicetak sebelum Okto sakit. Ia menaburkan semua undangan-undangan itu ke dalam
liang lahat. Akupun mendekat ke liang lahat itu. Kutaburkan bunga. Dan
diam-diam kujatuhkan juga sebuah undangan pernikahan ke dalamnya. Undangan
pernikahan yang lain dengan irisan nama yang sama. Undangan pernikahan Inggrid yang
tak pernah kuberikan kepada Okto. Biarlah terkubur di situ … Selamat
beristirahat, sahabatku.
No comments:
Post a Comment