Friday, April 12, 2013

TULISAN EYANG TERBIT

TULISAN EYANG, TERBIT


            “ Ria, kita ke rumah eyang, yuk ”, ajak teman-temanku.
            “ Eyang siapa ”? tanyaku
            “ Eyang Narto, eyangnya Vida ”jawab seorang temanku.
O iya, sekelibat aku mengingat sosok eyang tua yang sering didorong di atas kursi roda. Beberapa kali aku melihatnya di saat aku bertandang ke rumah Vida. Aku mengenal Vida dengan sangat baik tetapi aku tidak pernah bertukar cerita dengan eyangnya selain menyapanya dengan ucapan selamat pagi dan apa kabar.
            “ Eyang  Narto sakit ? tanyaku
            “ Enggak sih, tapi orang yang sudah sepuh kan sering kesepian. Jadi kita rame-rame akan mengunjunginya, bikin dia senang, ”jawab temanku.
Oke, usul yang baik, pikirku.

            Itulah awal perkenalanku dengan eyang Narto. Walaupun sudah berumur 90 tahun, eyang Narto tidak pikun hanya matanya kurang jelas untuk melihat. Kami berbincang-bincang cukup lama dan salah satu yang dia ceritakan adalah kegemarannya menulis.
            “ Eyang, aku juga suka menulis lho’ ”kataku.
            “ O ya ”?  tanyanya
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya yang sudah sangat keriput.
            “ Eyang, suka menulis sejak jaman penjajahan Belanda dulu dan beberapa buku eyang sempat dijilid dan diperbanyak untuk dibagikan kepada teman-teman yang menyukai tulisan eyang, ”ceritanya.
            “ Sekarang masih ada, eyang ? ”tanyaku
            “ Ada, tapi sudah berdebu dan harus dicari dulu. Kamu mau? ”tanyanya
            “ Mau eyang, kalau tidak merepotkan eyang, ”jawabku.
            “ Bisa, kapan-kapan datanglah lagi ke sini ; ntar eyang kasih kamu beberapa tulisan eyang yang masih ada’ ”jawabnya.

            Seminggu kemudian aku datang menjumpai eyang Narto. Kali ini aku datang sendirian. Di atas meja tempat kami berbincang ada setumpukan kertas-kertas yang sudah tua. 
            “ Ini tulisan eyang yang sempat eyang kumpulkan, ”katanya.
Kuambil tumpukan kertas itu. Sekilas kubaca tulisan kecil-kecil di atasnya. Ceritanya sangat menarik dan original. Serasa aku dibawa ke jaman dimana aku belum ada. Walaupun menggunakan bahasa kuno bak tulisan Siti Nurbaya tapi alur kisahnya sangat mengalir dan gamblang untuk dimengerti.
            “ Kamu pinjam saja, baca di rumah. Sekarang waktunya kita ngobrol, bukan membaca’ ”katanya.
            “ Boleh saya pinjam, eyang ? ”tanyaku.
            “ Boleh aja, asal dikembalikan, ”jawabnya.
Segera kumasukkan lembaran kertas tua itu ke dalam map yang kubawa.
            “ Sekarang, eyang sudah tidak bisa membaca lagi tulisan itu. Terlalu kecil hurufnya, ”ceritanya.
            “ Oh, boleh saya ketikkan ulang dengan huruf yang lebih besar, eyang ? ”tanyaku.
            “ Kamu bisa ? ”tanyanya
            “ Bisa, ”jawabku.
            “ Kamu mau ? ”tanyanya lagi
            “ Sangat mau, eyang, ”jawabku
Eyang Narto terlihat sangat senang mendengar jawabanku. Penulis tulen, pikirku.

            Hari-hariku setelah itu dipenuhi kesibukan mengetik kembali huru-huruf kecil itu dan mengubahkan menjadi lebih besar, lalu kujilid sehingga lahirlah sebuah buku karangan eyang. Lalu kuberikan buku itu kepada eyang.

            Eyang terlihat senang sekali menerima buku itu.
            “ Kamu memakai mesin ketik apa kok hurufnya bisa menjadi besar ? ”tanyanya.
            “ Pakai komputer, eyang, ”jawabku sedikit geli.
            “ O iya, sekarang ada komputer. Jaman eyang dulu ga ada komputer, kalau menulis harus memakai mesin ketik, ”jawabnya. “ Terima kasih banyak ya Ria, ”katanya lagi.
            “ Sama-sama, eyang, ”jawabku.
Aku merasa sangat bahagia bisa membuat eyang sepuh ini merasa bangga dan bahagia dengan hasil karyanya. Benar yang dikatakan bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima.

            “ Ria, mumpung kamu masih bisa, menulislah. Tulisanmu akan menjadi warisan berharga untuk anak-cucumu nanti. Sayang eyang sekarang sudah tidak boleh menulis karena mata eyang sudah kabur. Padahal di pikiran eyang masih sangat banyak cerita-cerita pengalaman eyang yang ingin eyang tuliskan. Apa boleh buat. Daripada mata eyang jadi buta ya mending eyang menyimpan cerita itu dalam hati eyang saja, ”katanya dengan nada sedih.
            “ Mungkin eyang tidak bisa menulis lagi, tapi eyang masih bisa bercerita, ”kataku
            “ Maksudnya ? Kalau cuma bercerita sebentar juga dilupakan orang, ”sahutnya.
            “ Tidak eyang. Eyang bercerita dan orang lain akan menuliskannya untuk eyang, ”jawabku.
            “ Ah, kamu ini, ”katanya. “ Mana ada orang yang mau mendengarkan cerita eyang dan menuliskannya ? ”jawabnya.
            “ Masih ada yang mau melakukannya, eyang, ”jawabku.
            “ O ya ? ”tanyanya. “ Berapa eyang harus bayar untuk jasa seperti itu ? ”tanyanya lagi.
            “ Gratis, eyang, ”jawabku
            “ Gratis ?! Siapa yang mau ? ”tanyanya.
            “ Saya, ”jawabku
            “ Apa ? Kamu mau ? ”tanyanya lagi.
            “ Iya, saya mau. Saya kagum dengan semangat eyang menulis juga dengan semangat hidup eyang. Kisah hidup eyang memang pantas dituliskan, ”jawabku.
Eyang Narto menatapku. Mungkin ia ingin menyelidiki kesungguhanku untuk menuliskan ceritanya. Lalu kami sama-sama tersenyum, bahagia.

            Sejak hari itu, aku sering datang ke rumah eyang Narto dan merekam ceritanya. Dirumah, aku mengetiknya dengan huruf yang besar-besar dan kukembalikan kepadanya untuk dikoreksi dan direvisi. Hal itu berlanjut sampai satu tahun lebih. Akhirnya lima ceritanya tuntas digarap dan dia mengatakan sangat puas dengan hal itu. Lalu tulisan itu kujadikan satu dan aku jilid menjadi satu buku dengan sampul warna ungu, warna kesukaannya. Dia juga memberikan judul untuk bukunya itu.

            Setelah buku itu jadi, persahabatan kami tetap berlanjut. Aku masih sering berkunjung ke rumahnya dan mendengarkan ceritanya yang sering diulang-ulang.
            “ Ria, apa kamu masih sering menulis ?” tanyanya suatu kali.
            “ Tidak terlalu sering, eyang. Banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan, ”jawabku.
            “ Tulislah sedikit demi sedikit dalam catatan pribadimu. Nanti pada saat kamu punya waktu luang, bahan-bahan itu sudah siap untuk dituliskan dan dibagikan. Kamu tidak akan terlalu repot lagi untuk menyiapkan bahan-bahannya, ”katanya.
            “ Sayang, eyang sudah tidak bisa lagi menuliskan apa yang eyang alami. Selain mata eyang yang tidak bisa lagi melihat dengan jelas, ingatan eyang sudah mulai lemah. Yang eyang lakukan adalah mendengarkan radio, ”sambungnya lagi. “ Mumpung kamu masih bisa, menulislah. Tulisanmu bisa menjadi kenangan dan mungkin menjadi prasasti bagi keturunanmu atau bahkan bagi bangsa ini. Tulisan itu akan tetap hidup walaupun orangnya sudah tidak ada, ”lanjutnya.
            Aku diam mendengar nasihatnya. Tapi aku mengakui kebenarannya. Dengan menulis, aku bisa mengisi jaman dengan gagasan-gagasanku yang mungkin tidak bisa kusuarakan.
            “ Iya, eyang, aku akan mencobanya, ”jawabku.

            Dua tahun kemudian, aku datang kembali ke rumah eyang Narto. Dia terbaring di tempat tidurnya dan kali ini dia tidak banyak berbicara. “ Ria, badan eyang sakit semua. Tapi eyang senang sekali bertemu dengan kamu. Tulisan eyang serasa diabadikan dan mungkin setelah eyang pergi, tulisan eyang akan menjadi kenangan hidup buat anak cucu cicit eyang khususnya dan berharap juga buat kamu. Tetaplah menulis, Ria, ”katanya.

Beberapa bulan kemudian, eyang Narto pergi untuk selamanya. Aku memandang tubuhnya yang terbaring dengan kebaya putih bertaburkan bunga melati. Sangat cantik. Wajahnya memancarkan senyum sejahtera dan kebahagiaan. Selesai pemakaman, di rumah kubaca tulisan eyang yang pernah kuketik dan kujilidkan. Airmataku mengalir deras ke pipi. “ Eyang, aku sudah tidak bisa lagi mendengar cerita eyang dan tidak bisa lagi menulis buat eyang. Tapi lewat tulisan eyang, aku merasakan eyang tetap hidup di ingatanku. Aku akan tetap menulis, eyang, ”kataku dalam hati.

            “ Ria …….’ ”kudengar sudara Vida berteriak memanggilku satu kali.
            “ Aku ingin memberikan surprise buat kamu, ”kata Vida sambil memberikan sebuah buku.
Kubaca judul dan penulis buku itu “ …….. oleh eyang Narto. ”
Kutatap Vida.
“ Iya Ria, kami menemukan tulisan eyang yang sudah kamu ketik di bawah bantalnya. Dan kami sekeluarga menerbitkannya sebagai kenangan buat eyang, ”kata Vida kemudian.
           
Airmataku jatuh. Kupeluk Vida erat.
            “ Eyang Nartoooooo, aku rindu eyang,” teriakku.

No comments:

Post a Comment