Thursday, January 17, 2013

ANAK-ANAK BANDEL ITU


            Mereka dianggap bandel oleh sebagian orang. Mungkin memang kenyataannya mereka terlihat demikian. Makian dan perkataan kotor sangat sering keluar dari mulut mereka. Merokok adalah hal yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Minuman keraspun mereka sering melahapnya. Belum lagi asupan dari pengaruh orangtua mereka yang berjudi, bercerai, cekcok antara suami istri membuat mereka tidak betah di rumah. Laporan bahwa mereka lari dari rumah atau tidak pulang beberapa hari adalah hal yang biasa kudengar tentang mereka. Ditambah lagi mereka miskin sehingga sering mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orangtua mereka kebanyakan tidak peduli dengan apa yang mereka perbuat. Bandel … ya bandel, begitulah kata orang tentang mereka.

            “Bang … Oli kecelakaan waktu menyeberang jalan,” kata beberapa dari mereka kepadaku.
            “Hah, dimana? Bagaimana keadaannya?” tanyaku
            “Di rumahnya, bang. Muntah-muntah,” jawab mereka. “terus mimisan,” sambung mereka lagi.
            “Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku
            “Belum bang, masih di rumahnya,” jawab mereka
            “Kenapa tidak dibawa ke dokter atau ke rumah sakit? Bagaimana kalau dia gegar otak,” tanyaku dengan nada sedikit kesal.
            “Ibunya baru menunggu bantuan dari keluarganya di Papua. Mereka tidak punya uang, bang,” jawab mereka.
            Tanpa menunggu lagi, kuambil kuci motor.
            “Ayo kita ke rumahnya,” kataku lagi sambil langsung meluncur dengan motorku ke rumah Oli.
            Sampai di rumah Oli, aku melihat seorang setengah tua duduk di bangku depan rumah sambil merokok.
            “Permisi bu, ada Oli?” tanyaku.
            “Masuk saja tuh ke kamar”, jawabnya

Tanpa berbasa-basi lagi aku masuk ke dalam. Tak lama kemudian teman-temannya datang juga menyusul. Di dalam kamar itu hanya ada sebuah meja dan sebuah kasur yang diletakkan di atas ubin yang dingin. Kasur itu dialasi sebuah seprei yang sudah lusuh. Kulihat Oli tidur di atasnya dan ibunya duduk di sampingnya. Kamarnya sempit dan sangat pengap.

“Oli, kamu kenapa?” tanyaku
“Kemarin dia kecelakaan waktu menyeberang jalan,” jawab ibunya
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku lagi
“Ya begitulah, mas. Tidak bisa makan, tidak bisa minum, katanya pusing,” jawab ibunya.
“Bagaimana kalau sekarang kita bawa ke dokter?” tanyaku
“Kami senang menunggu transfer uang dari bapaknya di Papua,” jawabnya
“Kita tidak bisa menunggu, bu, harus buru-buru,” kataku
“Iya, memangnya rumah sakit, dokter ga minta duit apa?” jawab ibunya.
“Kita bawa dulu, nanti kita cari cara untuk biayanya,” jawabku.
Kusuruh anak-anak “bandel” itu mencari taxi dan kami membawa Oli ke rumah sakit terdekat. Dengan persediaan uang yang ada, aku memberikan jaminan seadanya di rumah sakit tersebut. Rumah sakit pemerintah yang tidak terlalu mahal. Yang penting nyawa Oli terselamatkan.

Selama menunggu Oli ditangani dokter, aku duduk bersama anak-anak “bandel” itu di halaman rumah sakit sambil berdiam diri. Tumben, mereka bisa duduk diam tanpa berteriak-teriak seperti biasanya.
“Bang, siapa yang akan membayar pengobatan Oli?” tanya salah seorang dari mereka.
“Aku juga tidak tahu,” jawabku.
Kami terdiam. Seolah-olah kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing untuk mencari jalan keluarnya.
            “Bagaimana kalau sekarang kita berdoa, bang?” kata seorang dari mereka.
Aku tak menduga bahwa kalimat itu keluar dari mulut mereka yang dikenal “bandel” itu. Tak terpikir olehku untuk mengajak mereka berdoa karena selama ini mereka tidak pernah mau diajak berdoa. Kalaupun diajak berdoa, mereka akan berbicara sendiri selama doa itu.
            “Doa?! Oh iya, sekarang kita berdoa,” kataku. “Bagaimana kalau kita berdoa, berdua-berdua?” sambungku.
Tanpa diperintah dua kali, mereka masing-masing sudah mempunyai partner doa dan mereka melipat tangan, menutup mata, berdoa. Ya, anak-anak “bandel” itu berdoa. Luarbiasa, pikirku.

            Selesai berdoa, kembali kami terpekur diam. Tiba-tiba seorang dari mereka memberikan hp nya yang sudah butut kepadaku.
            “Bang, hp ini dijual saja untuk membayar pengobatan Oli”, katanya
            “Hp saya juga bisa dijual, bang,” kata yang seorang lagi.
           “Aku ga punya hp bang, tapi kemarin dikasih uang bapak buat beli buku,” dia menaruh uangnya yang tidak banyak di depanku.
            Aku terhenyak melihat tingkah mereka. Kasih kah itu? Mereka mau memberikan apa yang mereka punya dan mungkin mereka butuhkan untuk seorang kawan mereka yang terkena musibah. Bandelkah mereka?
            Tiba-tiba aku teringat bahwa kami punya tabungan bersama yang sudah kami kumpulkan dalam setahun ini. Rencananya uang itu akan kami gunakan untuk pergi bersama di masa liburan mendatang. Mungkin uang itu cukup untuk membantu Oli sebelum dana dari keluarganya datang, pikirku. Tetapi kalau uang itu digunakan dan keluarga Oli tidak mengembalikannya, maka acara tersebut harus dibatalkan karena kami tidak mempunyai dana untuk itu.
            “Kita punya tabungan untuk pergi bersama di masa liburan nanti,” kataku. “mungkin uang itu bisa membantu pengobatan Oli selama dana transfer dari Papua belum diterima,”sambungku.
Belum selesai aku berbicara, seorang dari mereka berkata:”berikan saja dulu pada Oli, nanti kalau uang transferan dari Papua sudah datang kan kita akan mendapatkan uang itu kembali. Toh liburannya masih sebulan lagi.”
            “Bagaimana kalau keluarga Oli tidak mengembalikan uang tabungan itu?” tanyaku
Mereka diam. Kami sudah lama sekali ingin pergi bersama dan sudah setahun lebih kami mengumpulkan dana sedikit demi sedikit. Mereka paham resiko yang akan kami hadapai seandainya uang itu tidak dikembalikan. Kami tidak akan jadi pergi. Sejenak kami terdiam.
            “Berikan saja pada Oli, bang,” akhirnya salah satu dari mereka memecah kesunyian.
            “Lalu bagaimana dengan rencana kita?” tanyaku
            “Ya kita tidak jadi pergi,” jawab mereka
            “Kalian rela memberikannya kepada Oli?” tanyaku lagi.
            “Daripada Oli mati, bang … lebih baik kita tidak jadi pergi”, jawab mereka.
            “Iya bang, Oli adalah bagian dari kami. Dia adalah anggota keluarga kami. Pergi tanpa dia juga tidak akan menyenangkan lagi,” kata mereka.
            “Jadi kita sepakat memberikan tabungan kita kepada Oli?” tanyaku lagi untuk memastikan.
            “Iya, bang”, jawab mereka tanpa keraguan.

Aku bangkit, mengambil motor dan pergi mengambil uang itu. Mereka tetap menunggu di rumah sakit tersebut sampai aku kembali dengan membawa uang tersebut. Uang itu kuberikan kepada mereka.

Kulihat mereka mendatangi Oli dan ibunya di kamar kelas tiga itu. Di tepi ranjang tempat Oli terbaring, seorang dari mereka menaruh uang itu ke tangan ibu Oli.
“Ini untuk Oli, tante”, katanya.
“Ini uang siapa?” tanya ibu Oli
“Ini uang tabungan kami” jawab mereka
Kulihat air-mata menggenang di mata ibu Oli. Air-mata meleleh ke pipi Oli.

“Terima kasih”, ibu Oli memeluk anak-anak “bandel” itu satu persatu.

No comments:

Post a Comment