Mereka dianggap bandel oleh sebagian
orang. Mungkin memang kenyataannya mereka terlihat demikian. Makian dan
perkataan kotor sangat sering keluar dari mulut mereka. Merokok adalah hal yang
sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Minuman keraspun mereka sering
melahapnya. Belum lagi asupan dari pengaruh orangtua mereka yang berjudi,
bercerai, cekcok antara suami istri membuat mereka tidak betah di rumah.
Laporan bahwa mereka lari dari rumah atau tidak pulang beberapa hari adalah hal
yang biasa kudengar tentang mereka. Ditambah lagi mereka miskin sehingga sering
mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orangtua mereka kebanyakan
tidak peduli dengan apa yang mereka perbuat. Bandel … ya bandel, begitulah kata
orang tentang mereka.
“Bang … Oli kecelakaan waktu
menyeberang jalan,” kata beberapa dari mereka kepadaku.
“Hah, dimana? Bagaimana keadaannya?”
tanyaku
“Di rumahnya, bang. Muntah-muntah,”
jawab mereka. “terus mimisan,” sambung mereka lagi.
“Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku
“Belum bang, masih di rumahnya,”
jawab mereka
“Kenapa tidak dibawa ke dokter atau
ke rumah sakit? Bagaimana kalau dia gegar otak,” tanyaku dengan nada sedikit
kesal.
“Ibunya baru menunggu bantuan dari
keluarganya di Papua. Mereka tidak punya uang, bang,” jawab mereka.
Tanpa menunggu lagi, kuambil kuci motor.
“Ayo kita ke rumahnya,” kataku lagi
sambil langsung meluncur dengan motorku ke rumah Oli.
Sampai di rumah Oli, aku melihat
seorang setengah tua duduk di bangku depan rumah sambil merokok.
“Permisi bu, ada Oli?” tanyaku.
“Masuk saja tuh ke kamar”, jawabnya
Tanpa
berbasa-basi lagi aku masuk ke dalam. Tak lama kemudian teman-temannya datang
juga menyusul. Di dalam kamar itu hanya ada sebuah meja dan sebuah kasur yang
diletakkan di atas ubin yang dingin. Kasur itu dialasi sebuah seprei yang sudah
lusuh. Kulihat Oli tidur di atasnya dan ibunya duduk di sampingnya. Kamarnya
sempit dan sangat pengap.
“Oli,
kamu kenapa?” tanyaku
“Kemarin
dia kecelakaan waktu menyeberang jalan,” jawab ibunya
“Bagaimana
keadaannya sekarang?” tanyaku lagi
“Ya
begitulah, mas. Tidak bisa makan, tidak bisa minum, katanya pusing,” jawab
ibunya.
“Bagaimana
kalau sekarang kita bawa ke dokter?” tanyaku
“Kami
senang menunggu transfer uang dari bapaknya di Papua,” jawabnya
“Kita
tidak bisa menunggu, bu, harus buru-buru,” kataku
“Iya,
memangnya rumah sakit, dokter ga minta duit apa?” jawab ibunya.
“Kita
bawa dulu, nanti kita cari cara untuk biayanya,” jawabku.
Kusuruh
anak-anak “bandel” itu mencari taxi dan kami membawa Oli ke rumah sakit
terdekat. Dengan persediaan uang yang ada, aku memberikan jaminan seadanya di
rumah sakit tersebut. Rumah sakit pemerintah yang tidak terlalu mahal. Yang
penting nyawa Oli terselamatkan.
Selama
menunggu Oli ditangani dokter, aku duduk bersama anak-anak “bandel” itu di
halaman rumah sakit sambil berdiam diri. Tumben, mereka bisa duduk diam tanpa
berteriak-teriak seperti biasanya.
“Bang,
siapa yang akan membayar pengobatan Oli?” tanya salah seorang dari mereka.
“Aku
juga tidak tahu,” jawabku.
Kami
terdiam. Seolah-olah kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing untuk mencari
jalan keluarnya.
“Bagaimana kalau sekarang kita
berdoa, bang?” kata seorang dari mereka.
Aku
tak menduga bahwa kalimat itu keluar dari mulut mereka yang dikenal “bandel”
itu. Tak terpikir olehku untuk mengajak mereka berdoa karena selama ini mereka
tidak pernah mau diajak berdoa. Kalaupun diajak berdoa, mereka akan berbicara
sendiri selama doa itu.
“Doa?! Oh iya, sekarang kita berdoa,”
kataku. “Bagaimana kalau kita berdoa, berdua-berdua?” sambungku.
Tanpa
diperintah dua kali, mereka masing-masing sudah mempunyai partner doa dan
mereka melipat tangan, menutup mata, berdoa. Ya, anak-anak “bandel” itu berdoa.
Luarbiasa, pikirku.
Selesai berdoa, kembali kami
terpekur diam. Tiba-tiba seorang dari mereka memberikan hp nya yang sudah butut
kepadaku.
“Bang, hp ini dijual saja untuk
membayar pengobatan Oli”, katanya
“Hp saya juga bisa dijual, bang,”
kata yang seorang lagi.
“Aku ga punya hp bang, tapi kemarin
dikasih uang bapak buat beli buku,” dia menaruh uangnya yang tidak banyak di
depanku.
Aku terhenyak melihat tingkah
mereka. Kasih kah itu? Mereka mau memberikan apa yang mereka punya dan mungkin
mereka butuhkan untuk seorang kawan mereka yang terkena musibah. Bandelkah
mereka?
Tiba-tiba aku teringat bahwa kami
punya tabungan bersama yang sudah kami kumpulkan dalam setahun ini. Rencananya
uang itu akan kami gunakan untuk pergi bersama di masa liburan mendatang.
Mungkin uang itu cukup untuk membantu Oli sebelum dana dari keluarganya datang,
pikirku. Tetapi kalau uang itu digunakan dan keluarga Oli tidak
mengembalikannya, maka acara tersebut harus dibatalkan karena kami tidak
mempunyai dana untuk itu.
“Kita punya tabungan untuk pergi
bersama di masa liburan nanti,” kataku. “mungkin uang itu bisa membantu
pengobatan Oli selama dana transfer dari Papua belum diterima,”sambungku.
Belum
selesai aku berbicara, seorang dari mereka berkata:”berikan saja dulu pada Oli,
nanti kalau uang transferan dari Papua sudah datang kan kita akan mendapatkan
uang itu kembali. Toh liburannya masih sebulan lagi.”
“Bagaimana kalau keluarga Oli tidak
mengembalikan uang tabungan itu?” tanyaku
Mereka
diam. Kami sudah lama sekali ingin pergi bersama dan sudah setahun lebih kami
mengumpulkan dana sedikit demi sedikit. Mereka paham resiko yang akan kami
hadapai seandainya uang itu tidak dikembalikan. Kami tidak akan jadi pergi.
Sejenak kami terdiam.
“Berikan saja pada Oli, bang,”
akhirnya salah satu dari mereka memecah kesunyian.
“Lalu bagaimana dengan rencana kita?”
tanyaku
“Ya kita tidak jadi pergi,” jawab
mereka
“Kalian rela memberikannya kepada
Oli?” tanyaku lagi.
“Daripada Oli mati, bang … lebih
baik kita tidak jadi pergi”, jawab mereka.
“Iya bang, Oli adalah bagian dari
kami. Dia adalah anggota keluarga kami. Pergi tanpa dia juga tidak akan
menyenangkan lagi,” kata mereka.
“Jadi kita sepakat memberikan
tabungan kita kepada Oli?” tanyaku lagi untuk memastikan.
“Iya, bang”, jawab mereka tanpa
keraguan.
Aku
bangkit, mengambil motor dan pergi mengambil uang itu. Mereka tetap menunggu di
rumah sakit tersebut sampai aku kembali dengan membawa uang tersebut. Uang itu
kuberikan kepada mereka.
Kulihat
mereka mendatangi Oli dan ibunya di kamar kelas tiga itu. Di tepi ranjang
tempat Oli terbaring, seorang dari mereka menaruh uang itu ke tangan ibu Oli.
“Ini
untuk Oli, tante”, katanya.
“Ini
uang siapa?” tanya ibu Oli
“Ini
uang tabungan kami” jawab mereka
Kulihat
air-mata menggenang di mata ibu Oli. Air-mata meleleh ke pipi Oli.
“Terima
kasih”, ibu Oli memeluk anak-anak “bandel” itu satu persatu.
No comments:
Post a Comment