Friday, January 10, 2020

KISAH PAK GURU

Rumah kecil itu masih di situ. Pohon jambu itu juga masih di situ. Bangku di depan rumah itupun masih di situ. Angin semilir pun masih menyentuh rambutku. Aku melangkah menuju ke pintu rumah itu. Rasanya sudah sepuluh tahun aku tidak pernah mengunjungi penghuni rumah itu.
Perlahan kuketuk pintu rumah itu.
"Sebentar," kudengar suara pria dari dalam rumah.
"Pasti itu adalah ayah Rika," pikirku.
Perlahan pintu tua itu terbuka dan benar, kulihat ayah Rika berdiri di situ sambil terperangah menatapku.
"Selamat siang, om," kataku sambil menyalam tangannya.
Ayah Rika terus menatapku sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Rivan? Kamu Rivan kan?" tanyanya
Aku mengangguk.
"Iya, om,"jawabku
Bapak tua itu memelukku.
"Kamu kemana saja, sudah berapa tahun kamu tak pernah tampak. Ayo masuk. Om bikinkan teh jahe kesukaanmu ya," katanya.
Aku masuk ke dalam rumah dan kulihat tatanan rumah itu masih sama. Bersih dan rapi. Aku teringat waktu masih SMA dulu aku sering main ke situ dan duduk di tepi danau di bawah pohon. Menikmati angin dusun yang sejuk.
"Bagaimana kabarmu sekarang, Van?" tanyanya
"Baik, om," jawabku
"Kamu kemana. saja selama ini?" tanyanya
"Saya kuliah, om. Setelah itu saya bekerja," jawabku.
"Oh iya, kamu pasti sudah menjadi orang sukses sekarang," sahutnya.
"Biasa saja, om. Saya masih Rivan yang dulu," jawabku
"Kamu kerja sebagai apa?" tanyanya lagi
"Sebagai guru SMA, om," jawabku
"Lho, kamu kan sarjana, kenapa jadi guru?" tanya om itu dg wajah heran.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa aku dimarahin oleh ayah dan ibuku. Hal inilah yang membuatku merasa tidak cocok dengan Indri, tunanganku yang sangat kaya. Keluarga Indri memaksaku meneruskan usaha keluarganya yang besar. Tp aku tidak bisa melawan suara hatiku yang terus mendesakku untuk berbuat hal yang lain. Menjadi guru. Ya, itulah panggilan hidupku.
"Rika ada, om?" tanyaku kemudian
"Oh, Rika belum pulang dari bekerja. Tunggu saja sebentar pasti dia datang," jawabnya
Aku terdiam.
"Nah itu dia datang," sambungnya.
Langkah2 ringan ke pintu membuat hatiku berdebar.
"Rika, ada yang datang nih," kata ayah Rika
"Oh, ada tamu besar rupanya," kudengar suara Rika renyah dan menyalamiku.
"Kamu ngobrol dulu ya, papa mau istirahat," kata ayah Rika sambil masuk ke kamar.
"Hai Van, apa kabar kok tumben kamu ke sini, ada apa geranga?" tanya Rika dengan tersenyum.
Aku terdiam
"Ada apa, Van? Kamu sendirian? Mana Indri, kok ga ikut," tanyanya lagi.
Rika masih seperti dulu. Masih cantik, baik, penuh perhatian. Hal-hal yang dulu menyebabkan aku mengasihinya masih jelas ada padanya.
"Kamu kenapa, Van? Anakmu sudah berapa?" tanyanya lagi.
Aku menunduk.
"Aku belum menikah," jawabku
"Lho, bukannya waktu itu kamu sudah bertunangan dengan Indri?" tanyanya.
"Ya," jawabku
"Terus?" tanyanya lagi
"Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak mengenal perjuangan. Indri orang kaya. Yang dipikirkannya hanyalah belanja dan tamasya. Sedangkan aku tidak begitu. Kami sering bertengkar dan akhirnya aku tidak tahan, lalu aku permisi meninggalkannya," jawabku.
"Oh sorry," jawab Rika sambil menunduk
"Orangtuaku marah padaku karena orangtua Indri adalah rekan bisnis ayahku dan sudah sejak lama mereka mau menjodohkan kami. Orangtua Indri juga marah kepadaku dan juga kepada ayahku. Hubungan mereka terpecah gara² aku. Tp kupikir pernikahan adalah untuk seumur hidup dan aku tidak mau mempertaruhkan pernikahanku dengan orang yang tidak sejalan denganku," ceritaku.
Setelah diam sesaat, Rika kembali bertanya padaku:
"Sekarang kamu kerja dimana, Van?"
Tatapan matanya dari dulu sulit kulupakan, sejuk dan penuh pengertian.
"Aku menjadi guru di suatu SMA. Guru ekonomi," jawabku
"Apa?! Guru?!" tanya Rika tak percaya
"Iya, Ka. Aku tak bisa melupakan peristiwa itu," jawabku
"Peristiwa yang mana?" tanyanya
"Peristiwa yang membuatku memutuskan hubungan kita. Peristiwa yang membuatku menyakitimu."
Rika terdiam. Kupikir dia tahu peristiwa apa yang kumaksudkan.
"Aku mau minta maaf, Rika. Jujur aku tak bisa melupakan peristiwa saat teman kita Yose bunuh diri ketika orangtuanya bercerai. Dia adalah teman dekatku. Sejak peristiwa itu kamu bilang bahwa kamu ingin menjadi guru sehingga kamu bisa berbagi ilmu dan sedikit banyak bisa menjadi tempat berbagi bagi anak² muda yang bermasalah. Saat itu aku tidak setuju denganmu. Aku ingin kamu kuliah, bekerja dan kita bisa hidup bahagia, hidup dalam kecukupan, punya nama dan itu berarti tidak menjadi guru."
Rika masih terdiam. Tentu dia juga ingat saat aku mengancam untuk memutuskan hubungan dengannya kalau dia tetap mau menjadi guru.
"Aku mau menjadi guru, Rivan. Paling tidak aku bisa memberikan ilmu, hati dan perhatian pada segelintir orang yang kukenal," begitulah jawabanmu saat itu.
"Oke, kalau begitu kita putus!" bentakku saat itu. "Mungkin orang miskin kayak kamu memang cocok jadi guru, tapi aku tidak. Kita tidak cocok" sambungku saat itu.
Rika menangis saat itu dan aku meninggalkannya di teras kelas. Aku memilih pacaran dan akhirnya bertunangan dengan Indri.
Rika masih tertunduk diam.
"Rika, jujur aku tidak bisa melupakan Yose yang bunuh diri itu. Apalagi setelah itu aku masih menemukan orang-orang lain yang porak poranda hidupnya. Kebanyakan mereka begitu karena faktor keluarga. Terbersit dalam hatiku, seandainya saja aku bisa memberi sedikit sentuhan kasih kepada mereka. Hatiku terus mendesakku untuk melakukan sesuatu. Lama-lama aku tidah tahan. Lalu akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku dan menerima panggilan hatiku menjadi seorang guru," begitulah aku mengakhiri ceritaku.
Setelah diam beberapa saat, Rika menatapku dan bertanya dengan tenang:"Sudah berapa lama kamu menjadi guru?"
"Tiga tahun," jawabku
"Lalu bagaimana dengan Indri?" tanya Rika lagi
"Dia sudah menikah dengan orang kaya dan tinggal di Singapura," jawabku
"Lalu kenapa kamu sekarang ke sini?" tanya Rika
"Aku mau minta maaf," jawabku
Rika tetap menatapku. Aku menunduk. Perlahan Rika menjawab:"Semuanya sudah berlalu. Adalah baik yang berakhir baik. Lupakanlah. Aku sudah memaafkanmu."
Plooong, hatiku merasa lega sekali mendengar jawabannya dan melihat kembali senyumnya yang tulus dan manis.
Tak terasa hari sudah senja. Aku berdiri dan pamit padanya. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Hati² di jalan ya. Kamu orang yang hebat. Kamu pasti bisa menjadi teladan untuk murid-muridmu," kata Rika.
Aku menengok kembali kepadanya.
"Boleh satu kali aku datang lagi kesini?" tanyaku
"Untuk apa?" tanyanya
"Untuk menikmati angin senja di tepi danau," jawabku.
Rika tersenyum.
"Oh boleh, datanglah," jawabnya sambil melambaikan tangan.Sore itu aku kembali ke kota. Kulihat pelangi di ufuk barat kota masih ada ….

Monday, April 23, 2018


FAKTOR KELUARGA VS STRESS MAHASISWA

Suatu kali seorang mahasiswi menulis WA kepadaku.
“Ibu, saya ingin bertemu ibu. Saya harus bercerita kepada ibu. Saya takut,”
“Iya, masuk aja ke ruangan kerja saya,” jawabku. Kebetulan saat itu aku sedang sendirian di ruang kerjaku.
Seorang gadis cantik duduk di depanku dengan menggunakan topi dan mulut yang tertutup masker. Dia duduk dan menangis lama sekali. Kuberikan sekotak tissue kepadanya dan dia segera mengambi tissue itu untuk menghapus airmatanya.
“Ibu, saya takut”, katanya setelah agak tenang
“Apa yang kamu takutkan?” tanyaku
“Suara aneh”, jawabnya
“Suara aneh apa?” tanyaku lagi
“Setiap malam ada suara aneh yang mengganggu saya. Suara yang selalu memanggil saya. Bayangan hitam juga sering muncul menyertainya dan itu terjadi setiap malam. Akhirnya saya minum minuman keras beberapa botol supaya saya bisa tidur”, ceritanya
“Orangtuamu tahu hal ini?” tanyaku
“Saya tinggal di kos sendirian, saya tidak punya orangtua,” jawabnya dengan nada yang sedikit meninggi.
“Orangtuamu sudah meninggal?” tanyaku
“Masih ada, tapi saya tidak bersama mereka. Merekapun tinggal sendiri-sendiri, entah dimana”, jawabnya
“Ayahmu bekerja?” tanyaku
“Bekerja, tapi ada dimana saya tidak tahu. Dia hanya mengirim uang setiap bulan,”
“Ibumu?” tanyaku
“Mama ada di Medan, tidak bekerja, tinggal bersama orangtuanya”, jawabnya
“Kamu tidak bisa berbicara dengan ibumu?” tanyaku
“Tidak bu, mama tidak mau bicara dengan saya. Saya disuruh tinggal di tempat kos sendiri dan kalau saya hubungi, mama tidak pernah berespon sehingga akhirnya saya memutuskan untuk tidak menghubungi mama. Saya benci pada orangtua saya”, jawabnya.
“Kamu punya kakak atau adik?” tanyaku
“Saya punya seorang kakak laki-laki, tapi saya juga tidak tahu dia kos dimana. Pokoknya kami masing-masing hidup sendiri’, jawabnya

Cerita di atas mungkin merupakan satu cerita yang sepertinya tidak pernah kita duga bisa dialami oleh mahasiswa kita. Tetapi cerita seperti itu bukanlah cerita yang jarang penulis dengar dan hadapi. Ada beberapa mahasiswa yang menceritakan stres jiwanya. Ada yang tertekan karena studi mereka, ada yang tidak bisa membayar uang kuliah, ada yang tidak akur dengan orangtuanya, ada yang mengalami kelainan psikologi dan masih banyak lagi. Dampak yang terjadi dari mahasiswa yang mengalami stres pun bermacam-macam. Ada yang studinya terabaikan, ada yang terpaksa bekerja, ada yang ingin bunuh diri dan sebagainya. Penulis hanya mendengar percikan-percikan dari cerita mereka. Penulis yakin, di luar sana masih ada banyak mahasiswa yang mengalami stres yang mungkin tak dapat diceritakannya kepada siapapun.


Akhirnya kutemukan lagi blog ku ..... siap diisi kembali ........

Monday, July 25, 2016

MENTARI SENJA


Sudah  genap satu tahun aku tinggal di Panti Jompo ini. Anakku satu-satunya tinggal di luar negeri dan tidak setahun sekali ia bisa mengunjungiku. Keponakan-keponakankulah yang merawat aku. Sebelum aku tinggal di panti jompo ini, aku tinggal sendiri di suatu rumah kecil di sebuah gang kecil. Aku cukup nyaman tinggal sendirian di situ. Setiap tiga hari sekali, kakak laki-lakiku selalu datang membawa segala keperluanku seperti telur,sayur, tahu,tempe dan sebagainya. Dengan bahan-bahan itu aku bisa memasak dan mencukupi kebutuhanku sehari-hari.

Di suatu senja, aku duduk di teras rumahku menikmati mentari senja. Alam seperti berwarna kekuningan membri tanda bahwa matahari sudah akan tenggelam.
“Waktu kita masih anak-anak, di saat matahari senja datang, kita pasti duduk bersama di halaman rumah sambil makan nasi dan ikan bandeng,” cerita kakakku
Lalu lamunan kamipun kembali mengingat masa-masa itu. Bersama bapak dan ibu kami menikmati udara pegunungan dan matahari senja yang segera tenggelam. Setelah matahari terbenam bapak menyalakan petromax dan kami duduk di ruang tangah rumah kami yang mungil sambil mengerjakan pekerjaan kami masing-masing. Ibu menjahit, bapak tidur di atas dipan kayu dan aku serta kakak asyik bermain atau membaca. Tidak ada hiburan lain, selain tontonan layar tancap yang tidak selalu ada. Walau demikian, kami bahagia.
“Matahari senja saat itu sudah tenggelam,” kata kakakku kemudian. “Bapak dan ibu sudah lama tiada,” sambung kakakku.
“Iya, aku merindukan saat-saat seperti itu, saat matahari senja di desa, sangat indah,” jawabku.
Tiba-tiba kakakku memandang kepadaku.
“Sekarang kita menikmati matahari senja dan kita tidak dapat menahan kalau matahari itu akan terbenam,” katanya.
“Maksudmu?” tanyaku
“Iya, satu kali matahari senja itu pasti akan terbenam. Kita sudah tua. Sudah di atas tujuh puluh tahun. Tak lama lagi matahari senja itu akan tenggelam,” jawab kakakku.
Aku merasakan hal yang tidak enak dengan pembicaraan dengan kakakku sore itu walaupun aku tidak bisa menyangkali kebenarannya.
“Jangan ngomong ngelantur,” kataku. “Tuhanlah yang mengatur kapan matahari senja itu akan tenggelam,” sambungku.
“Iya, tapi kita harus bersiap-siap, kalau-kalau matahari itu segera akan tenggelam,” jawabnya.

Kulihat hari sudah gelap. Lampu di ujung gang tempat aku tinggal sudah dinyalakan. Kakakku berdiri mengambil sepeda tuanya yang diparkir di tepi pagar.
“Aku harus pulang, hari sudah mulai malam. Hari Rabu aku akan datang lagi,” katanya.
Lalu ia mengayuh sepedanya pelan, pulang ke rumahnya.

Pagi itu …..
“Tante! Tante…!!! Buka pintunya.” Kudengar suara ponakanku sambil menggedor pintu rumah. Kulihat jam dinding tua yang bertengger di dinding kamarku. Jam lima lewat dua puluh menit.
Aku segera membuka pintu dan ponakanku segera merangkulku dan membawaku duduk.
“Tante sekarang ganti baju ya,” katanya
“Kenapa, kita mau kemana?” tanyaku
“Ke rumah sakit,” jawab ponakanku
“Siapa yang sakit?” tanyaku
Tiba-tiba ponakanku menangis keras sambil memelukku.
“Siapa yang sakit?” tanyaku lagi
“Om……. Om…….. sudah pergi semalam. Ia mengalami serangan jantung,” jawabnya sambil terisak-isak.
“Apa? Om?” tanyaku tidak percaya
Keponakanku mengangguk, memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Kakiku gemetar. Baru semalam kami berbincang-bincang dan bercerita tentang mentari senja yang akan segera terbenam. Siapa menduga bahwa mentari senjanya kini telah tenggelam dan tidak akan terbit lagi.

Sejak kepergian kakakku, aku merasa tidak sanggup lagi mengurus diriku sendiri. Kakiku sudah terasa sakit untuk menyapu, pinggangku tidak kuat lagi untuk mencuci. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di panti jompo ini. Panti ini cukup indah. Aku mempunyai sebuah kamar sendiri. Seorang suster setiap kali menengok keadaanku. Teman-teman sesama manulapun sering berkumpul atau dikumpulkan untuk membuat acara bersama. Aku cukup menikmatinya.

Diantara segala kegiatan di panti jompo itu, ada satu hal yang selalu kunantikan kedatangannya. Setiap Minggu sore, seorang pemuda selalu datang membawakan buah atau makanan kesukaanku yang lain. Dia sering mengajakku berdoa dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan. Kedatangannya betul-betul sangat menghiburku dan sangat memberi kekuatan padaku. Aku tidak mengenalnya. Hanya satu yang aku tahu, yaitu dia sangat baik dan ia bernama Kevin.

“Vin, kamu masih kuliah,” tanyaku satu kali.

“Tidak tante, orangtuaku tidak mampu membiayai kuliahku,” jawabnya.

“Kamu bekerja?” tanyaku lagi

“Iya, tante. Aku menjaga gudang pamanku,” jawabnya

“Sudah lama bekerja di sana?” tanyaku lagi.

“Lumayan tante, sudah tiga tahun sejak saya lulus SMA,” jawabnya

“Orangtuamu masih ada?” tanyaku

“Papa sudah tiada, tapi mama masih ada. Dia berjualan kue di pasar,” ceritanya.

“Oh, senangnya mamaku mempunyai anak seperti kamu yang peduli dengan orang-orang tua seperti tante,” kataku kemudian.

Pemuda ini tersenyum hangat. Dipegangnya tanganku erat.
“Jangan bersedih, tante. Satu kali saya akan ajak mama saya ke sini untuk menjadi teman tante,” katanya.

Aku tersenyum melamunkan anakku yang nyaris tak pernah menyapaku. Ia punya uang sehingga bisa menaruh aku di panti jompo ini tetapi ia hampir tak punya waktu untuk mengunjungiku. Aku maklum. Amerika kan sangat jauh dan biayanya pasti terlalu mahal. Sementara aku sendiri tidak ingin tinggal di sana bersama anakku. Hatiku ada di tanah air ini.

“Tante melamun apa?” tanya pemuda itu

“Oh, tidak. Aku teringat anakku yang tinggal jauh di negeri orang. Dia sangat jarang menyapa tante,” jawabku

“Mungkin anak tante sibuk. Ada yang bisa tante lakukan untuknya,” jawab pemuda itu.

“Melakukan apa?” tanyaku

“Tante bisa berdoa untuk dia,” jawabnya

“Berdoa untuknya?” tanyaku

“Iya, tante. Tuhan mendengar doa. Tuhan tahu kebutuhan tante dan kebutuhan anak tante. Dengan doa, tante bisa mendukung anak tante,” jawabnya tetap dengan senyumnya yang menawan.

“Hal itu juga yang kulakukan untuk ibuku,” jawabnya.

Suatu pemikiran baru muncul di benakku. Iya, anak muda ini benar. Aku akan mendoakan anakku dan keluarganya ketimbang aku meratapinya. Tiba-tiba suatu harapan baru muncul di hatiku. Ada yang masih bisa kukerjakan untuk anakku.

“Tante, sore ini indah sekali,” katanya. “Matahari berwarna kemerahan dan kekuningan, sangat indah. Seperti warna emas yang menghiasi bumi,” sambungnya dengan sangat antusias.

“Iya, indah sekali, tapi aku punya cerita tidak enak dengan mentari senja itu,” jawabku

“Cerita apa, tante?” tanyanya

Aku teringat kisah kepergian kakakku yang begitu tiba-tiba. Lalu aku menceritakan kepada pemuda ini tentang kisah sedih itu. Pemuda ini menyimak dengan tenang dan setelah ceritaku selesai, ia kembali menggenggam tanganku.

“Tante, satu kali mentari senja itu pasti akan tenggelam tapi hal itu tidak menakutkan, tante. Dibalik matahari yang tenggelam itu terbentang satu fajar yang sangat indah. Kakak tante sudah memasuki fajar abadi itu dan kitapun akan menyusul satu demi satu,” katanya

Aku termenung. Iya, dia  benar. Dibalik mentari senja yang tenggelam itu ada fajar abadi yang sangat indah. Ia tidak akan muncul sebelum mentari senja itu tenggelam. Alangkah indahnya menantikan munculnya fajar dibalik mentari senja itu.

“Kamu benar,” kataku. “Tante ingin cepat ke sana, dimana tidak ada airmata dan kesedihan,” sambungku. “Siapa tahu, esok matahari senja tante tenggelam dan kamu jangan bersedih. Saat itu kamu harus ingat bahwa tante sudah bersukacita di fajar abadi itu.”

Kulihat pemuda itu tersenyum dan mengangguk pelan.
“Kita tidak tahu kapan mentari senja itu akan tenggelam, tetapi yang pasti, fajar gemilang akan segera datang dan kita akan bersukacita di dalamnya. Jadi tante tidak boleh bersedih juga kalau mentari senjaku tenggelam lebih dulu,” katanya

Aku tertawa geli. “Mentari senjamu akan tenggelam?” tanyaku. “Munculpun belum,” kataku sambil tertawa.
“Ya, orang tidak pernah tahu, tante. Tapi tante janji kalau hal itu terjadi, tante jangan bersedih ya,” katanya dengan senyum yang simpatik.
“Tidak,” kataku. “Aku akan menangis keras-keras,” kataku masih dengan nada bercanda.
“Jangan, tante. Tante harus mengingat bahwa aku sudah berada dalam kebahagiaan abadi yang sejati,” katanya lagi.

Mentari senja telah tenggelam dan pemuda itu pamit untuk pulang………
Aku tengah merajut baju mungil untuk cucuku yang baru lahir dan aku berencana akan meminta keponakanku untuk mengirimkannya ke Amerika, kepada anakku.
“Sedang apa, oma?” sapa perawat panti dengan sangat ramah

“Oh, sedang merajut baju bayi buat cucuku yang baru lahir,” jawabku

“Wah senang sekali dapat cucu baru, perempuan ya oma?” tanyanya lagi.
“Iya, kok suster tahu?” tanyaku

“Ya tahu lah, masak cucu laki-laki dikasih warna pink,” jawabnya

“O iya, benar juga ya,” jawabku sambil menertawakan kebodohanku sendiri.

Tiba-tiba, suster itu memegang kedua tanganku dan mendekapnya dikedua telapak tangannya. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca.

“Ada apa, suster?” tanyaku heran

“Ada kabar duka, tapi oma harus tabah ya?” katanya kemudian

“Siapa yang meninggal? Jangan bilang itu anakku,” jawabku dengan tangan gemetar.

Suster itu menggeleng. “Bukan oma,” jawabnya

“Lalu, siapa, siapa yang meninggal?” tanyaku mendesak.

“Kevin, pemuda yang setia mengunjungi oma,” jawab suster itu.

“Hah?! Kevin meninggal?! Kemarin baru dia mengunjungiku. Kenapa?” tanyaku tak habis mengerti.

“Kemarin malam, pulang dari sini, dia sesak nafas. Kemudian dia dibawa ke rumah sakit dan disuruh cuci darah karena darahnya mengental di dalam tubuhnya, tetapi sudah terlambat,” cerita suster itu.

“Mengapa baru ketahuan?” tanyaku lagi

“Sebenarnya sudah agak lama dokter menganjurkan dia untuk cuci darah tetapi ia tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun karena ia tidak mau memberatkan orang lain. Sungguh dia anak yang sangat baik,” jawab suster itu.

Aku termenung mendengar penjelasan suster itu tentang Kevin. Aku teringat akan percakapan kami sehari sebelumnya.

Senja itu, mentari senja masih menghiasi bumi dengan warnanya yang kemerahan, saat kami beramai-ramai pergi ke rumah duka. Beberapa opa-oma dari panti jompo menangis di samping jenazahnya yang beku dan biru. Wajahnya tersenyum terlihat bagaikan orang yang tidur dalam kedamaian abadi. Banyak orang kehilangan kehadirannya.

‘Kevin, matahari senjamu belum juga tiba tapi mengapa engkau tenggelam terlebih dahulu?’ kata hatiku. ‘Tapi aku tak akan menangis, karena aku tahu bahwa kamu sedang bersukacita di fajar abadi yang gemilang di sana.’

Sejak hari itu, tak ada lagi seorang pemuda yang datang untuk berbagi cerita denganku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mendengar ceritaku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mengajakku berdoa bersama. Ia sudah pergi memasuki sukacita fajar keabadian, saat mentarinya yang masih tinggi tiba-tiba tenggelam ……. dalam satu hari ……

MENDOAN UNTUK ISTERIKU


“Kemana, bu?” tanya Salman sopir ojek yang sedang mangkal di depan kantorku. Beberapa kali aku ngojek dengan dia saat pulang kerja.

“Biasa, seperti kemarin ke mall DD,” jawabku

“Siap,bu. Ibu selalu ke mall ya?” tanyanya

“Hampir selalu, menunggu kemacetan berlalu,” jawabku

“Iya ya bu, kalau jam segini pasti macet sekali. Ibu benar, lebih baik menunggu agak malam,” sahutnya
“Enak ya, ibu bisa tiap hari nongkrong di mall, ada duit sih bu,” sambungnya lagi.

“Saya hanya nongkrong di suatu tempat, beli minum sambil kerja. Kadang makan malam juga di situ,” jawabku

“Ibu bekerja juga di mall?” tanyanya

“Ya iya, daripada harus jalan-jalan dan belanja-belanja, tekor dah,” jawabku

“Ya tak apalah bu, kan gajinya besar,” sahutnya lagi.

“Ga terlalu besar tapi cukup,” jawabku.

“Daripada saya, bu, kerja setengah mati hasilnya selalu pas-pas an,” katanya.

“Tiap orang itu punya rejekinya sendiri, pak, itu pasti paling baik bagi kita,” jawabku

“Ibu belum pernah sih merasakan jadi orang yang tidak punya duit. Sengsara dan sedih bu. Saya bersyukur sih bu, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menyenangkan keluarga. Hal itu membuat saya sedih,” jawabnya.


Tiba-tiba kurasakan tetesan air membasahi tanganku. Hujan turun dengan cepat menjadi lebat.


“Wah hujan, bagaimana ini bu?” tanyanya

“Sangat lebat, kita berhenti dulu saja di halte terdekat,” jawabku


Dia memarkir motornya di halte terdekat sambil menunggu hujan reda. Tetes-tetes hujan disertai angina kencang membuat pikiranku melamunkan kehidupan Salman sebagai sopir ojek. Kasihan juga ya kalau setiap hari di musim penghujan begini dia harus menembus angina dan hujan demi memberi nafkah hidup bagi keluarganya.

“Bu, ibu punya HP bekas tidak, yang sudah tidak dipakai?” tanyanya

“Hm, sepertinya ada,” jawabku

“Boleh saya minta?” tanyanya lagi

“Boleh, tapi rusak parah dan sudah sangat tua,” jawabku

“Tidak apa, bu, saudara saya tukang reparasi HP. Siapa tahu masih bisa diperbaiki,” jawabnya

“Buat apa sih?” tanyaku

“Anak saya minta HP, tapi saya tidak bisa membeli HP baru bahkan HP bekaspun tidak bisa. Saya ingin memberikan HP di hari ulang tahunnya bulan depan. Dia sangat menginginkannya dan juga membutuhkannya,” jawabnya.

“Oh! Anak bapak berapa?” tanyaku

“Tiga orang, bu.” Jawabnya. “Yang paling tua kelas sepuluh dan paling kecil masih SD,” jawabnya

“Laki-laki atau perempuan?” tanyaku lagi

“Yang pertama dan kedua laki-laki, yang kecil perempuan, bu,” jawabnya


Kulihat matanya menerawang dan berkaca-kaca. Mungkin dia sedang mengingat dan memikirkan keluarganya saat ini.


“Isteri bapak tidak bekerja?” tanyaku

“Bekerja sebagai tukang cuci dan gosok pakaian di pagi hari, setelah itu pulang ngurus rumah. Saya tidak mengijinkan dia bekerja lebih dari jam dua belas siang,” jawabnya

“Mengapa?” tanyaku

“Biar anak-anak ada yang mengontrol. Takut mereka salah gaul, bu,” jawabnya


Hebat juga pak Salman ini,’ pikirku. ‘Walaupun hidupnya sangat sederhana tapi dia cukup memikirkan anak-anaknya,’

“Wah, bapak luar biasa. Bapak adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat peduli dengan keluarga bapak,” kataku.

“Semua bapak pasti memikirkan anaknya, bu. Pasti ingin anaknya bisa sekolah dan nasipnya lebih baik dari bapaknya,” sahutnya


Aku manggut-manggut mendengar penuturannya.


“Anak saya juga bekerja, bu kalau sore,” ceritanya lagi

“Kerja sebagai apa?” tanyaku

“Kalau sore begini dan hujan dia menjadi ojek payung. Kalau musim kemarau jadi tukang parkir. Ganti-ganti bu, apa yang ada dikerjakannya. Lumayan bisa untuk beli buku sekolah. Sekarang buku kan mahal, bu,” jawabnya

“Kalau hujan begini dan ia menjadi ojek payung kan kasihan pak, bisa sakit,” kataku

“Sudah biasa, bu. Beginilah hidupnya orang susah,” jawabnya.
“Jam berapa sekarang, bu?” tanyanya tiba-tiba

“Kenapa?” tanyaku

“Saya janji untuk makan malam di rumah jam enam,” jawabnya

“Oh, kalau begitu saya bayar saja dulu dan saya akan mencari ojek yang lain,” jawabku sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan kepadanya.

“Wah, saya tidak punya kembalian,bu,” katanya

“Tidak apa, ambil saja untuk jajan,” jawabku


Trenyuh juga aku mendengar ceritanya. Sementara ada orang-orang yang setengah mati berjuang untuk hidup, ada juga kelompok orang yang hampir tiap minggu berpesta, membeli barang-barang mewah, naik pesawat bak naik becak. Apakah mereka mengetahui ada orang-orang yang hidup seperti pak Salman ini? Seandainya mereka tahu, apakah mereka peduli? Kehidupan yang njomplang.


“Bener bu, ini buat saya?” tanya pak Salman mengagetkan aku.

“Iya buat bapak,” sahutku.

“Terima kasih bu, terima kasih. Akhirnya hari ini saya bisa membelikan hadiah ulang tahun pernikahan kami untuk isteri saya, terima kasih sekali bu,” jawabnya sambil menutupkan telapak tangan ke mukanya tanda rasa syukur.

“Oh, ini hari ulang tahun pernikahan bapak? Selamat ya,” kataku.

“Iya bu, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami dan saya sudah berjanji akan pulang sebelum jam enam sambil membawa kado,” jawabnya

Aku menatap bola matanya yang berkaca-kaca.

“Masih hujan, pak, pasti isteri bapak bisa mengerti kalau bapak datang terlambat. Nanti bapak sakit kena hujan dan angin seperti ini,” kataku

“Tidak bu, saya akan cari kado buat isteri saya terus langsung pulang,” jawabnya. “Terima kasih ya bu.”

“Mau beli apa untuk isteri bapak?” tanyaku penasaran

“Beli mendoan, bu,” jawabnya dengan semringah


Senyumku jadi akan pudar karena bingung setengah terperangah. Aku tak  menduga akan mendengar jawaban seperti itu.


“Apa pak, kadonya? tanyaku lagi.

“Mendoan, bu?” jawabnya lagi

“Mendoan? Kenapa mendoan?” tanyaku

“Isteri saya sangat suka mendoan dan hanya itu yang bisa saya berikan kepadanya,” jawabnya


Aku terdiam. Mendoan?! Aku tak pernah berpikir memberikan kado mendoan kepada siapapun. Tapi ternyata bagi pak Salman, mendoan itu sangat berarti sebagai kado untuk isterinya.


“Saya pergi dulu bu. Sekali lagi terima kasih banyak,” katanya

Pak Salman segera naik ke motornya dengan jaketnya yang basah menembus hujan yang tinggal rintik-rintik.

“O ya bu, satu lagi mengapa saya membeli mendoan. Saya dan isteri saya bertemu saat kami sama-sama membeli mendoan di pasar,” katanya sambil menganggukkan kepadaku dan berlalu.


Aku termangu-mangu memandang lukisan keluarga yang mengasihi dengan kasih yang sederhana di dalam tiap rintik air hujan. Pelajaran yang luar biasa. Satu kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang biasa kulihat.


Kukeluarkan HP ku dari dalam tasku dan kutekan no telpon taxi langgananku. Sementara hujan mulai reda.



                                                                            ooooo0ooooo