Showing posts with label Story. Show all posts
Showing posts with label Story. Show all posts

Monday, July 25, 2016

MENTARI SENJA


Sudah  genap satu tahun aku tinggal di Panti Jompo ini. Anakku satu-satunya tinggal di luar negeri dan tidak setahun sekali ia bisa mengunjungiku. Keponakan-keponakankulah yang merawat aku. Sebelum aku tinggal di panti jompo ini, aku tinggal sendiri di suatu rumah kecil di sebuah gang kecil. Aku cukup nyaman tinggal sendirian di situ. Setiap tiga hari sekali, kakak laki-lakiku selalu datang membawa segala keperluanku seperti telur,sayur, tahu,tempe dan sebagainya. Dengan bahan-bahan itu aku bisa memasak dan mencukupi kebutuhanku sehari-hari.

Di suatu senja, aku duduk di teras rumahku menikmati mentari senja. Alam seperti berwarna kekuningan membri tanda bahwa matahari sudah akan tenggelam.
“Waktu kita masih anak-anak, di saat matahari senja datang, kita pasti duduk bersama di halaman rumah sambil makan nasi dan ikan bandeng,” cerita kakakku
Lalu lamunan kamipun kembali mengingat masa-masa itu. Bersama bapak dan ibu kami menikmati udara pegunungan dan matahari senja yang segera tenggelam. Setelah matahari terbenam bapak menyalakan petromax dan kami duduk di ruang tangah rumah kami yang mungil sambil mengerjakan pekerjaan kami masing-masing. Ibu menjahit, bapak tidur di atas dipan kayu dan aku serta kakak asyik bermain atau membaca. Tidak ada hiburan lain, selain tontonan layar tancap yang tidak selalu ada. Walau demikian, kami bahagia.
“Matahari senja saat itu sudah tenggelam,” kata kakakku kemudian. “Bapak dan ibu sudah lama tiada,” sambung kakakku.
“Iya, aku merindukan saat-saat seperti itu, saat matahari senja di desa, sangat indah,” jawabku.
Tiba-tiba kakakku memandang kepadaku.
“Sekarang kita menikmati matahari senja dan kita tidak dapat menahan kalau matahari itu akan terbenam,” katanya.
“Maksudmu?” tanyaku
“Iya, satu kali matahari senja itu pasti akan terbenam. Kita sudah tua. Sudah di atas tujuh puluh tahun. Tak lama lagi matahari senja itu akan tenggelam,” jawab kakakku.
Aku merasakan hal yang tidak enak dengan pembicaraan dengan kakakku sore itu walaupun aku tidak bisa menyangkali kebenarannya.
“Jangan ngomong ngelantur,” kataku. “Tuhanlah yang mengatur kapan matahari senja itu akan tenggelam,” sambungku.
“Iya, tapi kita harus bersiap-siap, kalau-kalau matahari itu segera akan tenggelam,” jawabnya.

Kulihat hari sudah gelap. Lampu di ujung gang tempat aku tinggal sudah dinyalakan. Kakakku berdiri mengambil sepeda tuanya yang diparkir di tepi pagar.
“Aku harus pulang, hari sudah mulai malam. Hari Rabu aku akan datang lagi,” katanya.
Lalu ia mengayuh sepedanya pelan, pulang ke rumahnya.

Pagi itu …..
“Tante! Tante…!!! Buka pintunya.” Kudengar suara ponakanku sambil menggedor pintu rumah. Kulihat jam dinding tua yang bertengger di dinding kamarku. Jam lima lewat dua puluh menit.
Aku segera membuka pintu dan ponakanku segera merangkulku dan membawaku duduk.
“Tante sekarang ganti baju ya,” katanya
“Kenapa, kita mau kemana?” tanyaku
“Ke rumah sakit,” jawab ponakanku
“Siapa yang sakit?” tanyaku
Tiba-tiba ponakanku menangis keras sambil memelukku.
“Siapa yang sakit?” tanyaku lagi
“Om……. Om…….. sudah pergi semalam. Ia mengalami serangan jantung,” jawabnya sambil terisak-isak.
“Apa? Om?” tanyaku tidak percaya
Keponakanku mengangguk, memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Kakiku gemetar. Baru semalam kami berbincang-bincang dan bercerita tentang mentari senja yang akan segera terbenam. Siapa menduga bahwa mentari senjanya kini telah tenggelam dan tidak akan terbit lagi.

Sejak kepergian kakakku, aku merasa tidak sanggup lagi mengurus diriku sendiri. Kakiku sudah terasa sakit untuk menyapu, pinggangku tidak kuat lagi untuk mencuci. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di panti jompo ini. Panti ini cukup indah. Aku mempunyai sebuah kamar sendiri. Seorang suster setiap kali menengok keadaanku. Teman-teman sesama manulapun sering berkumpul atau dikumpulkan untuk membuat acara bersama. Aku cukup menikmatinya.

Diantara segala kegiatan di panti jompo itu, ada satu hal yang selalu kunantikan kedatangannya. Setiap Minggu sore, seorang pemuda selalu datang membawakan buah atau makanan kesukaanku yang lain. Dia sering mengajakku berdoa dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan. Kedatangannya betul-betul sangat menghiburku dan sangat memberi kekuatan padaku. Aku tidak mengenalnya. Hanya satu yang aku tahu, yaitu dia sangat baik dan ia bernama Kevin.

“Vin, kamu masih kuliah,” tanyaku satu kali.

“Tidak tante, orangtuaku tidak mampu membiayai kuliahku,” jawabnya.

“Kamu bekerja?” tanyaku lagi

“Iya, tante. Aku menjaga gudang pamanku,” jawabnya

“Sudah lama bekerja di sana?” tanyaku lagi.

“Lumayan tante, sudah tiga tahun sejak saya lulus SMA,” jawabnya

“Orangtuamu masih ada?” tanyaku

“Papa sudah tiada, tapi mama masih ada. Dia berjualan kue di pasar,” ceritanya.

“Oh, senangnya mamaku mempunyai anak seperti kamu yang peduli dengan orang-orang tua seperti tante,” kataku kemudian.

Pemuda ini tersenyum hangat. Dipegangnya tanganku erat.
“Jangan bersedih, tante. Satu kali saya akan ajak mama saya ke sini untuk menjadi teman tante,” katanya.

Aku tersenyum melamunkan anakku yang nyaris tak pernah menyapaku. Ia punya uang sehingga bisa menaruh aku di panti jompo ini tetapi ia hampir tak punya waktu untuk mengunjungiku. Aku maklum. Amerika kan sangat jauh dan biayanya pasti terlalu mahal. Sementara aku sendiri tidak ingin tinggal di sana bersama anakku. Hatiku ada di tanah air ini.

“Tante melamun apa?” tanya pemuda itu

“Oh, tidak. Aku teringat anakku yang tinggal jauh di negeri orang. Dia sangat jarang menyapa tante,” jawabku

“Mungkin anak tante sibuk. Ada yang bisa tante lakukan untuknya,” jawab pemuda itu.

“Melakukan apa?” tanyaku

“Tante bisa berdoa untuk dia,” jawabnya

“Berdoa untuknya?” tanyaku

“Iya, tante. Tuhan mendengar doa. Tuhan tahu kebutuhan tante dan kebutuhan anak tante. Dengan doa, tante bisa mendukung anak tante,” jawabnya tetap dengan senyumnya yang menawan.

“Hal itu juga yang kulakukan untuk ibuku,” jawabnya.

Suatu pemikiran baru muncul di benakku. Iya, anak muda ini benar. Aku akan mendoakan anakku dan keluarganya ketimbang aku meratapinya. Tiba-tiba suatu harapan baru muncul di hatiku. Ada yang masih bisa kukerjakan untuk anakku.

“Tante, sore ini indah sekali,” katanya. “Matahari berwarna kemerahan dan kekuningan, sangat indah. Seperti warna emas yang menghiasi bumi,” sambungnya dengan sangat antusias.

“Iya, indah sekali, tapi aku punya cerita tidak enak dengan mentari senja itu,” jawabku

“Cerita apa, tante?” tanyanya

Aku teringat kisah kepergian kakakku yang begitu tiba-tiba. Lalu aku menceritakan kepada pemuda ini tentang kisah sedih itu. Pemuda ini menyimak dengan tenang dan setelah ceritaku selesai, ia kembali menggenggam tanganku.

“Tante, satu kali mentari senja itu pasti akan tenggelam tapi hal itu tidak menakutkan, tante. Dibalik matahari yang tenggelam itu terbentang satu fajar yang sangat indah. Kakak tante sudah memasuki fajar abadi itu dan kitapun akan menyusul satu demi satu,” katanya

Aku termenung. Iya, dia  benar. Dibalik mentari senja yang tenggelam itu ada fajar abadi yang sangat indah. Ia tidak akan muncul sebelum mentari senja itu tenggelam. Alangkah indahnya menantikan munculnya fajar dibalik mentari senja itu.

“Kamu benar,” kataku. “Tante ingin cepat ke sana, dimana tidak ada airmata dan kesedihan,” sambungku. “Siapa tahu, esok matahari senja tante tenggelam dan kamu jangan bersedih. Saat itu kamu harus ingat bahwa tante sudah bersukacita di fajar abadi itu.”

Kulihat pemuda itu tersenyum dan mengangguk pelan.
“Kita tidak tahu kapan mentari senja itu akan tenggelam, tetapi yang pasti, fajar gemilang akan segera datang dan kita akan bersukacita di dalamnya. Jadi tante tidak boleh bersedih juga kalau mentari senjaku tenggelam lebih dulu,” katanya

Aku tertawa geli. “Mentari senjamu akan tenggelam?” tanyaku. “Munculpun belum,” kataku sambil tertawa.
“Ya, orang tidak pernah tahu, tante. Tapi tante janji kalau hal itu terjadi, tante jangan bersedih ya,” katanya dengan senyum yang simpatik.
“Tidak,” kataku. “Aku akan menangis keras-keras,” kataku masih dengan nada bercanda.
“Jangan, tante. Tante harus mengingat bahwa aku sudah berada dalam kebahagiaan abadi yang sejati,” katanya lagi.

Mentari senja telah tenggelam dan pemuda itu pamit untuk pulang………
Aku tengah merajut baju mungil untuk cucuku yang baru lahir dan aku berencana akan meminta keponakanku untuk mengirimkannya ke Amerika, kepada anakku.
“Sedang apa, oma?” sapa perawat panti dengan sangat ramah

“Oh, sedang merajut baju bayi buat cucuku yang baru lahir,” jawabku

“Wah senang sekali dapat cucu baru, perempuan ya oma?” tanyanya lagi.
“Iya, kok suster tahu?” tanyaku

“Ya tahu lah, masak cucu laki-laki dikasih warna pink,” jawabnya

“O iya, benar juga ya,” jawabku sambil menertawakan kebodohanku sendiri.

Tiba-tiba, suster itu memegang kedua tanganku dan mendekapnya dikedua telapak tangannya. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca.

“Ada apa, suster?” tanyaku heran

“Ada kabar duka, tapi oma harus tabah ya?” katanya kemudian

“Siapa yang meninggal? Jangan bilang itu anakku,” jawabku dengan tangan gemetar.

Suster itu menggeleng. “Bukan oma,” jawabnya

“Lalu, siapa, siapa yang meninggal?” tanyaku mendesak.

“Kevin, pemuda yang setia mengunjungi oma,” jawab suster itu.

“Hah?! Kevin meninggal?! Kemarin baru dia mengunjungiku. Kenapa?” tanyaku tak habis mengerti.

“Kemarin malam, pulang dari sini, dia sesak nafas. Kemudian dia dibawa ke rumah sakit dan disuruh cuci darah karena darahnya mengental di dalam tubuhnya, tetapi sudah terlambat,” cerita suster itu.

“Mengapa baru ketahuan?” tanyaku lagi

“Sebenarnya sudah agak lama dokter menganjurkan dia untuk cuci darah tetapi ia tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun karena ia tidak mau memberatkan orang lain. Sungguh dia anak yang sangat baik,” jawab suster itu.

Aku termenung mendengar penjelasan suster itu tentang Kevin. Aku teringat akan percakapan kami sehari sebelumnya.

Senja itu, mentari senja masih menghiasi bumi dengan warnanya yang kemerahan, saat kami beramai-ramai pergi ke rumah duka. Beberapa opa-oma dari panti jompo menangis di samping jenazahnya yang beku dan biru. Wajahnya tersenyum terlihat bagaikan orang yang tidur dalam kedamaian abadi. Banyak orang kehilangan kehadirannya.

‘Kevin, matahari senjamu belum juga tiba tapi mengapa engkau tenggelam terlebih dahulu?’ kata hatiku. ‘Tapi aku tak akan menangis, karena aku tahu bahwa kamu sedang bersukacita di fajar abadi yang gemilang di sana.’

Sejak hari itu, tak ada lagi seorang pemuda yang datang untuk berbagi cerita denganku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mendengar ceritaku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mengajakku berdoa bersama. Ia sudah pergi memasuki sukacita fajar keabadian, saat mentarinya yang masih tinggi tiba-tiba tenggelam ……. dalam satu hari ……

MENDOAN UNTUK ISTERIKU


“Kemana, bu?” tanya Salman sopir ojek yang sedang mangkal di depan kantorku. Beberapa kali aku ngojek dengan dia saat pulang kerja.

“Biasa, seperti kemarin ke mall DD,” jawabku

“Siap,bu. Ibu selalu ke mall ya?” tanyanya

“Hampir selalu, menunggu kemacetan berlalu,” jawabku

“Iya ya bu, kalau jam segini pasti macet sekali. Ibu benar, lebih baik menunggu agak malam,” sahutnya
“Enak ya, ibu bisa tiap hari nongkrong di mall, ada duit sih bu,” sambungnya lagi.

“Saya hanya nongkrong di suatu tempat, beli minum sambil kerja. Kadang makan malam juga di situ,” jawabku

“Ibu bekerja juga di mall?” tanyanya

“Ya iya, daripada harus jalan-jalan dan belanja-belanja, tekor dah,” jawabku

“Ya tak apalah bu, kan gajinya besar,” sahutnya lagi.

“Ga terlalu besar tapi cukup,” jawabku.

“Daripada saya, bu, kerja setengah mati hasilnya selalu pas-pas an,” katanya.

“Tiap orang itu punya rejekinya sendiri, pak, itu pasti paling baik bagi kita,” jawabku

“Ibu belum pernah sih merasakan jadi orang yang tidak punya duit. Sengsara dan sedih bu. Saya bersyukur sih bu, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menyenangkan keluarga. Hal itu membuat saya sedih,” jawabnya.


Tiba-tiba kurasakan tetesan air membasahi tanganku. Hujan turun dengan cepat menjadi lebat.


“Wah hujan, bagaimana ini bu?” tanyanya

“Sangat lebat, kita berhenti dulu saja di halte terdekat,” jawabku


Dia memarkir motornya di halte terdekat sambil menunggu hujan reda. Tetes-tetes hujan disertai angina kencang membuat pikiranku melamunkan kehidupan Salman sebagai sopir ojek. Kasihan juga ya kalau setiap hari di musim penghujan begini dia harus menembus angina dan hujan demi memberi nafkah hidup bagi keluarganya.

“Bu, ibu punya HP bekas tidak, yang sudah tidak dipakai?” tanyanya

“Hm, sepertinya ada,” jawabku

“Boleh saya minta?” tanyanya lagi

“Boleh, tapi rusak parah dan sudah sangat tua,” jawabku

“Tidak apa, bu, saudara saya tukang reparasi HP. Siapa tahu masih bisa diperbaiki,” jawabnya

“Buat apa sih?” tanyaku

“Anak saya minta HP, tapi saya tidak bisa membeli HP baru bahkan HP bekaspun tidak bisa. Saya ingin memberikan HP di hari ulang tahunnya bulan depan. Dia sangat menginginkannya dan juga membutuhkannya,” jawabnya.

“Oh! Anak bapak berapa?” tanyaku

“Tiga orang, bu.” Jawabnya. “Yang paling tua kelas sepuluh dan paling kecil masih SD,” jawabnya

“Laki-laki atau perempuan?” tanyaku lagi

“Yang pertama dan kedua laki-laki, yang kecil perempuan, bu,” jawabnya


Kulihat matanya menerawang dan berkaca-kaca. Mungkin dia sedang mengingat dan memikirkan keluarganya saat ini.


“Isteri bapak tidak bekerja?” tanyaku

“Bekerja sebagai tukang cuci dan gosok pakaian di pagi hari, setelah itu pulang ngurus rumah. Saya tidak mengijinkan dia bekerja lebih dari jam dua belas siang,” jawabnya

“Mengapa?” tanyaku

“Biar anak-anak ada yang mengontrol. Takut mereka salah gaul, bu,” jawabnya


Hebat juga pak Salman ini,’ pikirku. ‘Walaupun hidupnya sangat sederhana tapi dia cukup memikirkan anak-anaknya,’

“Wah, bapak luar biasa. Bapak adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat peduli dengan keluarga bapak,” kataku.

“Semua bapak pasti memikirkan anaknya, bu. Pasti ingin anaknya bisa sekolah dan nasipnya lebih baik dari bapaknya,” sahutnya


Aku manggut-manggut mendengar penuturannya.


“Anak saya juga bekerja, bu kalau sore,” ceritanya lagi

“Kerja sebagai apa?” tanyaku

“Kalau sore begini dan hujan dia menjadi ojek payung. Kalau musim kemarau jadi tukang parkir. Ganti-ganti bu, apa yang ada dikerjakannya. Lumayan bisa untuk beli buku sekolah. Sekarang buku kan mahal, bu,” jawabnya

“Kalau hujan begini dan ia menjadi ojek payung kan kasihan pak, bisa sakit,” kataku

“Sudah biasa, bu. Beginilah hidupnya orang susah,” jawabnya.
“Jam berapa sekarang, bu?” tanyanya tiba-tiba

“Kenapa?” tanyaku

“Saya janji untuk makan malam di rumah jam enam,” jawabnya

“Oh, kalau begitu saya bayar saja dulu dan saya akan mencari ojek yang lain,” jawabku sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan kepadanya.

“Wah, saya tidak punya kembalian,bu,” katanya

“Tidak apa, ambil saja untuk jajan,” jawabku


Trenyuh juga aku mendengar ceritanya. Sementara ada orang-orang yang setengah mati berjuang untuk hidup, ada juga kelompok orang yang hampir tiap minggu berpesta, membeli barang-barang mewah, naik pesawat bak naik becak. Apakah mereka mengetahui ada orang-orang yang hidup seperti pak Salman ini? Seandainya mereka tahu, apakah mereka peduli? Kehidupan yang njomplang.


“Bener bu, ini buat saya?” tanya pak Salman mengagetkan aku.

“Iya buat bapak,” sahutku.

“Terima kasih bu, terima kasih. Akhirnya hari ini saya bisa membelikan hadiah ulang tahun pernikahan kami untuk isteri saya, terima kasih sekali bu,” jawabnya sambil menutupkan telapak tangan ke mukanya tanda rasa syukur.

“Oh, ini hari ulang tahun pernikahan bapak? Selamat ya,” kataku.

“Iya bu, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami dan saya sudah berjanji akan pulang sebelum jam enam sambil membawa kado,” jawabnya

Aku menatap bola matanya yang berkaca-kaca.

“Masih hujan, pak, pasti isteri bapak bisa mengerti kalau bapak datang terlambat. Nanti bapak sakit kena hujan dan angin seperti ini,” kataku

“Tidak bu, saya akan cari kado buat isteri saya terus langsung pulang,” jawabnya. “Terima kasih ya bu.”

“Mau beli apa untuk isteri bapak?” tanyaku penasaran

“Beli mendoan, bu,” jawabnya dengan semringah


Senyumku jadi akan pudar karena bingung setengah terperangah. Aku tak  menduga akan mendengar jawaban seperti itu.


“Apa pak, kadonya? tanyaku lagi.

“Mendoan, bu?” jawabnya lagi

“Mendoan? Kenapa mendoan?” tanyaku

“Isteri saya sangat suka mendoan dan hanya itu yang bisa saya berikan kepadanya,” jawabnya


Aku terdiam. Mendoan?! Aku tak pernah berpikir memberikan kado mendoan kepada siapapun. Tapi ternyata bagi pak Salman, mendoan itu sangat berarti sebagai kado untuk isterinya.


“Saya pergi dulu bu. Sekali lagi terima kasih banyak,” katanya

Pak Salman segera naik ke motornya dengan jaketnya yang basah menembus hujan yang tinggal rintik-rintik.

“O ya bu, satu lagi mengapa saya membeli mendoan. Saya dan isteri saya bertemu saat kami sama-sama membeli mendoan di pasar,” katanya sambil menganggukkan kepadaku dan berlalu.


Aku termangu-mangu memandang lukisan keluarga yang mengasihi dengan kasih yang sederhana di dalam tiap rintik air hujan. Pelajaran yang luar biasa. Satu kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang biasa kulihat.


Kukeluarkan HP ku dari dalam tasku dan kutekan no telpon taxi langgananku. Sementara hujan mulai reda.



                                                                            ooooo0ooooo

Friday, April 12, 2013

TULISAN EYANG TERBIT

TULISAN EYANG, TERBIT


            “ Ria, kita ke rumah eyang, yuk ”, ajak teman-temanku.
            “ Eyang siapa ”? tanyaku
            “ Eyang Narto, eyangnya Vida ”jawab seorang temanku.
O iya, sekelibat aku mengingat sosok eyang tua yang sering didorong di atas kursi roda. Beberapa kali aku melihatnya di saat aku bertandang ke rumah Vida. Aku mengenal Vida dengan sangat baik tetapi aku tidak pernah bertukar cerita dengan eyangnya selain menyapanya dengan ucapan selamat pagi dan apa kabar.
            “ Eyang  Narto sakit ? tanyaku
            “ Enggak sih, tapi orang yang sudah sepuh kan sering kesepian. Jadi kita rame-rame akan mengunjunginya, bikin dia senang, ”jawab temanku.
Oke, usul yang baik, pikirku.

            Itulah awal perkenalanku dengan eyang Narto. Walaupun sudah berumur 90 tahun, eyang Narto tidak pikun hanya matanya kurang jelas untuk melihat. Kami berbincang-bincang cukup lama dan salah satu yang dia ceritakan adalah kegemarannya menulis.
            “ Eyang, aku juga suka menulis lho’ ”kataku.
            “ O ya ”?  tanyanya
Aku mengangguk dan menggenggam tangannya yang sudah sangat keriput.
            “ Eyang, suka menulis sejak jaman penjajahan Belanda dulu dan beberapa buku eyang sempat dijilid dan diperbanyak untuk dibagikan kepada teman-teman yang menyukai tulisan eyang, ”ceritanya.
            “ Sekarang masih ada, eyang ? ”tanyaku
            “ Ada, tapi sudah berdebu dan harus dicari dulu. Kamu mau? ”tanyanya
            “ Mau eyang, kalau tidak merepotkan eyang, ”jawabku.
            “ Bisa, kapan-kapan datanglah lagi ke sini ; ntar eyang kasih kamu beberapa tulisan eyang yang masih ada’ ”jawabnya.

            Seminggu kemudian aku datang menjumpai eyang Narto. Kali ini aku datang sendirian. Di atas meja tempat kami berbincang ada setumpukan kertas-kertas yang sudah tua. 
            “ Ini tulisan eyang yang sempat eyang kumpulkan, ”katanya.
Kuambil tumpukan kertas itu. Sekilas kubaca tulisan kecil-kecil di atasnya. Ceritanya sangat menarik dan original. Serasa aku dibawa ke jaman dimana aku belum ada. Walaupun menggunakan bahasa kuno bak tulisan Siti Nurbaya tapi alur kisahnya sangat mengalir dan gamblang untuk dimengerti.
            “ Kamu pinjam saja, baca di rumah. Sekarang waktunya kita ngobrol, bukan membaca’ ”katanya.
            “ Boleh saya pinjam, eyang ? ”tanyaku.
            “ Boleh aja, asal dikembalikan, ”jawabnya.
Segera kumasukkan lembaran kertas tua itu ke dalam map yang kubawa.
            “ Sekarang, eyang sudah tidak bisa membaca lagi tulisan itu. Terlalu kecil hurufnya, ”ceritanya.
            “ Oh, boleh saya ketikkan ulang dengan huruf yang lebih besar, eyang ? ”tanyaku.
            “ Kamu bisa ? ”tanyanya
            “ Bisa, ”jawabku.
            “ Kamu mau ? ”tanyanya lagi
            “ Sangat mau, eyang, ”jawabku
Eyang Narto terlihat sangat senang mendengar jawabanku. Penulis tulen, pikirku.

            Hari-hariku setelah itu dipenuhi kesibukan mengetik kembali huru-huruf kecil itu dan mengubahkan menjadi lebih besar, lalu kujilid sehingga lahirlah sebuah buku karangan eyang. Lalu kuberikan buku itu kepada eyang.

            Eyang terlihat senang sekali menerima buku itu.
            “ Kamu memakai mesin ketik apa kok hurufnya bisa menjadi besar ? ”tanyanya.
            “ Pakai komputer, eyang, ”jawabku sedikit geli.
            “ O iya, sekarang ada komputer. Jaman eyang dulu ga ada komputer, kalau menulis harus memakai mesin ketik, ”jawabnya. “ Terima kasih banyak ya Ria, ”katanya lagi.
            “ Sama-sama, eyang, ”jawabku.
Aku merasa sangat bahagia bisa membuat eyang sepuh ini merasa bangga dan bahagia dengan hasil karyanya. Benar yang dikatakan bahwa lebih berbahagia memberi daripada menerima.

            “ Ria, mumpung kamu masih bisa, menulislah. Tulisanmu akan menjadi warisan berharga untuk anak-cucumu nanti. Sayang eyang sekarang sudah tidak boleh menulis karena mata eyang sudah kabur. Padahal di pikiran eyang masih sangat banyak cerita-cerita pengalaman eyang yang ingin eyang tuliskan. Apa boleh buat. Daripada mata eyang jadi buta ya mending eyang menyimpan cerita itu dalam hati eyang saja, ”katanya dengan nada sedih.
            “ Mungkin eyang tidak bisa menulis lagi, tapi eyang masih bisa bercerita, ”kataku
            “ Maksudnya ? Kalau cuma bercerita sebentar juga dilupakan orang, ”sahutnya.
            “ Tidak eyang. Eyang bercerita dan orang lain akan menuliskannya untuk eyang, ”jawabku.
            “ Ah, kamu ini, ”katanya. “ Mana ada orang yang mau mendengarkan cerita eyang dan menuliskannya ? ”jawabnya.
            “ Masih ada yang mau melakukannya, eyang, ”jawabku.
            “ O ya ? ”tanyanya. “ Berapa eyang harus bayar untuk jasa seperti itu ? ”tanyanya lagi.
            “ Gratis, eyang, ”jawabku
            “ Gratis ?! Siapa yang mau ? ”tanyanya.
            “ Saya, ”jawabku
            “ Apa ? Kamu mau ? ”tanyanya lagi.
            “ Iya, saya mau. Saya kagum dengan semangat eyang menulis juga dengan semangat hidup eyang. Kisah hidup eyang memang pantas dituliskan, ”jawabku.
Eyang Narto menatapku. Mungkin ia ingin menyelidiki kesungguhanku untuk menuliskan ceritanya. Lalu kami sama-sama tersenyum, bahagia.

            Sejak hari itu, aku sering datang ke rumah eyang Narto dan merekam ceritanya. Dirumah, aku mengetiknya dengan huruf yang besar-besar dan kukembalikan kepadanya untuk dikoreksi dan direvisi. Hal itu berlanjut sampai satu tahun lebih. Akhirnya lima ceritanya tuntas digarap dan dia mengatakan sangat puas dengan hal itu. Lalu tulisan itu kujadikan satu dan aku jilid menjadi satu buku dengan sampul warna ungu, warna kesukaannya. Dia juga memberikan judul untuk bukunya itu.

            Setelah buku itu jadi, persahabatan kami tetap berlanjut. Aku masih sering berkunjung ke rumahnya dan mendengarkan ceritanya yang sering diulang-ulang.
            “ Ria, apa kamu masih sering menulis ?” tanyanya suatu kali.
            “ Tidak terlalu sering, eyang. Banyak pekerjaan lain yang harus dikerjakan, ”jawabku.
            “ Tulislah sedikit demi sedikit dalam catatan pribadimu. Nanti pada saat kamu punya waktu luang, bahan-bahan itu sudah siap untuk dituliskan dan dibagikan. Kamu tidak akan terlalu repot lagi untuk menyiapkan bahan-bahannya, ”katanya.
            “ Sayang, eyang sudah tidak bisa lagi menuliskan apa yang eyang alami. Selain mata eyang yang tidak bisa lagi melihat dengan jelas, ingatan eyang sudah mulai lemah. Yang eyang lakukan adalah mendengarkan radio, ”sambungnya lagi. “ Mumpung kamu masih bisa, menulislah. Tulisanmu bisa menjadi kenangan dan mungkin menjadi prasasti bagi keturunanmu atau bahkan bagi bangsa ini. Tulisan itu akan tetap hidup walaupun orangnya sudah tidak ada, ”lanjutnya.
            Aku diam mendengar nasihatnya. Tapi aku mengakui kebenarannya. Dengan menulis, aku bisa mengisi jaman dengan gagasan-gagasanku yang mungkin tidak bisa kusuarakan.
            “ Iya, eyang, aku akan mencobanya, ”jawabku.

            Dua tahun kemudian, aku datang kembali ke rumah eyang Narto. Dia terbaring di tempat tidurnya dan kali ini dia tidak banyak berbicara. “ Ria, badan eyang sakit semua. Tapi eyang senang sekali bertemu dengan kamu. Tulisan eyang serasa diabadikan dan mungkin setelah eyang pergi, tulisan eyang akan menjadi kenangan hidup buat anak cucu cicit eyang khususnya dan berharap juga buat kamu. Tetaplah menulis, Ria, ”katanya.

Beberapa bulan kemudian, eyang Narto pergi untuk selamanya. Aku memandang tubuhnya yang terbaring dengan kebaya putih bertaburkan bunga melati. Sangat cantik. Wajahnya memancarkan senyum sejahtera dan kebahagiaan. Selesai pemakaman, di rumah kubaca tulisan eyang yang pernah kuketik dan kujilidkan. Airmataku mengalir deras ke pipi. “ Eyang, aku sudah tidak bisa lagi mendengar cerita eyang dan tidak bisa lagi menulis buat eyang. Tapi lewat tulisan eyang, aku merasakan eyang tetap hidup di ingatanku. Aku akan tetap menulis, eyang, ”kataku dalam hati.

            “ Ria …….’ ”kudengar sudara Vida berteriak memanggilku satu kali.
            “ Aku ingin memberikan surprise buat kamu, ”kata Vida sambil memberikan sebuah buku.
Kubaca judul dan penulis buku itu “ …….. oleh eyang Narto. ”
Kutatap Vida.
“ Iya Ria, kami menemukan tulisan eyang yang sudah kamu ketik di bawah bantalnya. Dan kami sekeluarga menerbitkannya sebagai kenangan buat eyang, ”kata Vida kemudian.
           
Airmataku jatuh. Kupeluk Vida erat.
            “ Eyang Nartoooooo, aku rindu eyang,” teriakku.

Saturday, January 19, 2013

DIA AKAN SEGERA MENIKAH


19
DIA AKAN SEGERA MENIKAH

            Ya, dia akan menikah. Apalagi yang perlu ditunggu. Sepertinya tak ada yang kurang padanya. Dia terkenal jenius, menyelesaikan jenjang S1 nya dalam waktu 4 tahun dengan predikat cumlaude. Sepertinya tidak ada dosen yang tidak mengenalnya. Aktif dalam organisasi kemahasiswaan, pernah menjadi mahasiswa berprestasi. Sekarang ia sudah mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang cukup tinggi, punya rumah sendiri, punya mobil tidak hanya satu. Dipandang dari fisiknya, ia cukup ganteng, putih, tinggi dengan rambut ikal. Perangainya … jangan ditanya lagi, dia ramah, rendah hati dan siap menolong siapa saja yang membutuhkan. Berasal dari keluarga berpendidikan dan tidak mempunyai bad record. Tidak sedikit gadis-gadis yang mendekatinya dari berbagai kalangan. Dan sekarang ia telah menemukan gadis idamannya. Cantik … sangat cantik, baik dan juga pintar. Jadi apa lagi yang harus ditunggu. Mereka siap untuk menikah.

            “Kamu bantu aku ya Ria,” katanya suatu kali.
O iya aku lupa menyebutkan namanya. Ia bernama Okto, lahir di bulan Oktober, tepat pada saat hujan lebat katanya. Ia adalah sahabat baikku.
            “Apa yang bisa kubantu?” tanyaku.
            “Ya, apa saja boleh. Menginventaris nama dan alamat teman-teman kita, mempersiapkan acara dan sebagainya …. pasti banyak yang bisa kamu buat,” katanya.
            “Oke …. oke …. apa sih yang ga aku buat untukmu?” jawabku.
Kami tertawa bersama mengingat bagaimana selama ini kami sering bekerja sama dalam banyak hal.

            “Ria, aku dibiayai oleh perusahaan untuk sekolah di Belanda selama tiga tahun”, katanya suatu hari.
            “Lalu, bagaimana dengan pernikahanmu?” tanyaku
            “Kalau bisa, aku ingin menikah dulu, lalu aku pergi dan istriku akan menyusul. Siapa tahu dia juga bisa meneruskan studinya di sana,” jawabnya
            “Cieee yang punya istri,” ledekku
            “Iya, kan sebentar lagi sang princess akan menjadi istriku hehe ….,” jawabnya sambil tertawa. Ia kelihatan bahagia sekali.
            Temanku yang satu ini tampak selalu berhasil dalam hidupnya. Sepertinya ia tidak pernah mendapatkan kegagalan. Semua yang ia inginkan selalu dapat ia peroleh. Orangnya terkenal baik lagi. Betapa beruntungnya orang yang akan mendampinginya nanti, pikirku.

            “He, mikir apa?” tanyanya membuyarkan lamunanku
            “Mikir kamu mau punya istri hahaha,” jawabku
            “Emang lucu gitu kalau aku punya istri?” tanyanya
            “Lucu banget,” jawabku
Kami kembali tertawa bersama. Mungkin sudah saatnya persahabatan kami tidak akan sedekat dulu lagi, begitu pikirku. Sebentar lagi dia akan sibuk dengan studi, pekerjaan, istri dan anak-anaknya.
            “Kamu tahu tidak rencanaku selanjutnya?” tanyanya
            “Tidak,” jawabku
            “Aku akan meminta orangtuaku tinggal di rumahku yang sekarang dan mobilku akan kuberikan kepada adikku yang kecil”, ceritanya
            “Kalau nanti kamu sudah selesai studi bagaimana?” tanyaku
            “Itu dipikirkan nanti,” jawabnya. “kupikir aku akan bisa mendapatkan rumah dan mobil yang lain lagi waktu aku kembali ke sini.” sambungnya.

            Beruntung benar sahabatku ini, pikirku. Dia benar-benar punya segalanya yang didambakan oleh manusia pada umumnya. Jebolan dari universitas negeri terkenal, pintar, punya rumah, punya kedudukan tinggi, punya calon istri cantik dan punya masa depan yang sangat terbuka lebar di depan.

            Satu bulan menjelang hari pernikahannya, kami sibuk sekali mempersiapkan segala pernak-pernik pernikahan. Okto sendiri tidak bisa terlibat banyak dalam persiapan ini karena dia masih harus bekerja dan mempersiapkan segala keperluannya untuk melanjutkan studinya ke Belanda.

            Pagi itu, aku berada di rumahnya. Aku berencana untuk pergi bersama ibunya mengambil pesanan ucapan terima kasih yang dipesannya. Tiba-tiba kulihat dia pulang ke rumah dan duduk di kursi sambil memegangi kakinya.
            “Kok pulang To? Ada yang tertinggal?” tanya ibunya
            “Kakiku terasa pegal sekali,” jawabnya.
            Mama Okto mendekatinya dan mencoba memeriksa pergelangan kaki kanan Okto yang dikeluhkan pegal itu.
            “Oh, mungkin kamu terlalu jauh membawa mobil kemarin,” kata mamanya.
Mamanya masuk ke dalam sebentar dan mengambil parem kocok. Kemudian dia mengurut kaki Okto dengan parem kocok itu dan menuntun Okto masuk ke kamarnya.
            “Sudah tidur saja, nanti juga sembuh sendiri,” kata mamanya. “kami mau pergi sebentar mengambil pesanan ucapan terima kasih yang kau pesan. Hari ini sudah jadi.”
Kamipun berangkat pergi meninggalkan Okto bersama dengan pembantu dan anjing kesayangannya.

            Sore hari ketika kami pulang, pembantu Okto membukakan pintu dan melapor:”Ibu, mas Okto katanya ga bisa jalan, dari tadi tidak turun dari tempat tidur.”
            “Apa?!” bergegas kami masuk ke kamar Okto.
            Di situ Okto masih terbaring sambil memegangi kakinya.
            “Kenapa, Okto?” tanya mama Okto
            “Kakiku lemas sekali rasanya. Tadi kucoba untuk berdiripun tidak bisa,” jawab Okto
            “Kalau begitu kita harus segera ke dokter,” kata mamanya
Lalu dengan dibantu oleh adik-adik Okto, mereka pergi ke dokter dan aku pamitan untuk pulang.

            Keesokan harinya aku mendapat kabar bahwa Okto dirawat di rumah sakit. Bergegas aku pergi menengoknya. Di situ aku menjumpai mama, papa Okto dan juga calon istrinya mengelilingi tempat tidur dimana Okto terbaring.
            “Bagaimana tante, apa yang terjadi?” tanyaku
Mamanya tidak menjawab dan mulai menangis.
            “Kaki Okto lumpuh,” katanya terbata-bata
            “Hah, kok bisa?” tanyaku
            “Kena virus. Penyakit itu langka dan kemungkinan sembuh sangat kecil. Kelumpuhannya akan terus merambat ke bagian tubuh yang lain”, terusnya.
Aku terdiam.
            “Kami akan membawanya ke Cina. Katanya di sana ada terapi untuk penyakit macam ini,” kata mamanya lagi.
Jadilah dalam minggu itu juga, Okto dan orangtuanya berangkat ke Cina untuk berobat.

            Tiga bulan sudah berlalu sejak saat itu, aku mendengar bahwa Okto sudah  kembali ke Jakarta dan dirawat di rumah sakit. Ketika aku menengoknya, dia terlihat sangat kurus. Ia terbaring di tempat tidur rumah sakit tanpa bisa menggerakkan tangan dan kakinya. Setiap hari ada perawat yang memberikan terapi-terapi kepadanya.
            “Ria,” katanya suatu kali
            “Ya, Okto, kenapa?” tanyaku
            “Dulu aku merasa bahwa aku bisa segalanya. Semua aku punya dan aku merasa mampu untuk mengejar apa saja yang aku inginkan. Tapi sekarang, aku merasa tak berdaya. Dulu aku tidak pernah memikirkan tentang Tuhan, aku merasa bisa melakukan segalanya sendiri. Tapi sekarang? Baru aku menyadari bahwa hanya Tuhan yang bisa membuat kita mampu. Apalagi mau menikah dan sekolah, menggerakkan ujung jempolpun aku tidak bisa,” begitu ceritanya dengan terbata-bata. Dan itulah kata-kata terakhir yang kudengar dari Okto. Keesokan harinya Okto lumpuh total. Berbicarapun ia tidak bisa. Ia dirawat di ruang kaca yang diisolasi dari pasien lain. Hanya mama, dokter dan perawat yang boleh masuk ke situ.

            “Ria, aku mau bicara denganmu,” kata Inggrid, tunangan Okto satu kali, selang beberapa bulan kemudian
            “Bicara aja Nggrid, ada apa?” jawabku
Aku mendengar cerita dari mama Okto bahwa sejak Okto pulang dari Cina, Inggrid tidak pernah lagi menengok Okto, tanpa kabar.
            “Aku mau menikah, Ria,” katanya
            “Hah?!” seruku. “dengan Okto? Bagaimana bisa?” tanyaku kemudian.
            “Enggaklah, aku mau menikah dengan orang lain,” jawabnya
Hatiku trenyuh mendengarnya. Bagaimana kalau Okto tahu hal ini, pikirku.
            “Sudah bilang pada Okto?” tanyaku
            “Kurasa tidak perlu,” jawabnya. “Sejak pulang dari Cina dan aku tidak pernah menengoknya lagi, tentu dia sudah mengerti keputusanku.”
            “Lho, kok? Kan kalian sudah mau menikah saat itu?” tanyaku
            “Siapa yang mau menikah dengan orang yang lumpuh begitu?” jawabnya.
Aku terdiam, teringat kesibukan kami mempersiapkan pernikahan Okto saat itu. Inggrid memberikan dua undangan buatku.
            “Tolong berikan satu kepada Okto,” katanya.

            Lima tahun kemudian, aku berdiri di depan sebuah liang lahat penuh bunga. Tubuh kaku Okto yang sudah tak bernyawa diturunkan ke dalamnya, diiringi isak tangis keluarga dan para kerabat. Lima tahun dia berbaring di ruang kaca rumah sakit tanpa bisa berbicara dan tidak bisa menggerakkan satu anggota badannya yang paling kecil sekalipun. Aku teringat apa yang dikatakannya terakhir kali padaku. “Kalau kita bisa, itu hanya karena Tuhan,” begitu katanya saat itu.

            Sebelum liang lahat itu ditimbun tanah, orang-orang menaburkan bunga. Kulihat mama Okto mendekat ke liang itu dengan membawa satu dos berisi undangan pernikahan Okto yang sudah sempat dicetak sebelum Okto sakit. Ia menaburkan semua undangan-undangan itu ke dalam liang lahat. Akupun mendekat ke liang lahat itu. Kutaburkan bunga. Dan diam-diam kujatuhkan juga sebuah undangan pernikahan ke dalamnya. Undangan pernikahan yang lain dengan irisan nama yang sama. Undangan pernikahan Inggrid yang tak pernah kuberikan kepada Okto. Biarlah terkubur di situ … Selamat beristirahat, sahabatku.

Thursday, January 17, 2013

ANAK-ANAK BANDEL ITU


            Mereka dianggap bandel oleh sebagian orang. Mungkin memang kenyataannya mereka terlihat demikian. Makian dan perkataan kotor sangat sering keluar dari mulut mereka. Merokok adalah hal yang sudah menjadi makanan mereka sehari-hari. Minuman keraspun mereka sering melahapnya. Belum lagi asupan dari pengaruh orangtua mereka yang berjudi, bercerai, cekcok antara suami istri membuat mereka tidak betah di rumah. Laporan bahwa mereka lari dari rumah atau tidak pulang beberapa hari adalah hal yang biasa kudengar tentang mereka. Ditambah lagi mereka miskin sehingga sering mencuri untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Orangtua mereka kebanyakan tidak peduli dengan apa yang mereka perbuat. Bandel … ya bandel, begitulah kata orang tentang mereka.

            “Bang … Oli kecelakaan waktu menyeberang jalan,” kata beberapa dari mereka kepadaku.
            “Hah, dimana? Bagaimana keadaannya?” tanyaku
            “Di rumahnya, bang. Muntah-muntah,” jawab mereka. “terus mimisan,” sambung mereka lagi.
            “Sudah dibawa ke dokter?” tanyaku
            “Belum bang, masih di rumahnya,” jawab mereka
            “Kenapa tidak dibawa ke dokter atau ke rumah sakit? Bagaimana kalau dia gegar otak,” tanyaku dengan nada sedikit kesal.
            “Ibunya baru menunggu bantuan dari keluarganya di Papua. Mereka tidak punya uang, bang,” jawab mereka.
            Tanpa menunggu lagi, kuambil kuci motor.
            “Ayo kita ke rumahnya,” kataku lagi sambil langsung meluncur dengan motorku ke rumah Oli.
            Sampai di rumah Oli, aku melihat seorang setengah tua duduk di bangku depan rumah sambil merokok.
            “Permisi bu, ada Oli?” tanyaku.
            “Masuk saja tuh ke kamar”, jawabnya

Tanpa berbasa-basi lagi aku masuk ke dalam. Tak lama kemudian teman-temannya datang juga menyusul. Di dalam kamar itu hanya ada sebuah meja dan sebuah kasur yang diletakkan di atas ubin yang dingin. Kasur itu dialasi sebuah seprei yang sudah lusuh. Kulihat Oli tidur di atasnya dan ibunya duduk di sampingnya. Kamarnya sempit dan sangat pengap.

“Oli, kamu kenapa?” tanyaku
“Kemarin dia kecelakaan waktu menyeberang jalan,” jawab ibunya
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanyaku lagi
“Ya begitulah, mas. Tidak bisa makan, tidak bisa minum, katanya pusing,” jawab ibunya.
“Bagaimana kalau sekarang kita bawa ke dokter?” tanyaku
“Kami senang menunggu transfer uang dari bapaknya di Papua,” jawabnya
“Kita tidak bisa menunggu, bu, harus buru-buru,” kataku
“Iya, memangnya rumah sakit, dokter ga minta duit apa?” jawab ibunya.
“Kita bawa dulu, nanti kita cari cara untuk biayanya,” jawabku.
Kusuruh anak-anak “bandel” itu mencari taxi dan kami membawa Oli ke rumah sakit terdekat. Dengan persediaan uang yang ada, aku memberikan jaminan seadanya di rumah sakit tersebut. Rumah sakit pemerintah yang tidak terlalu mahal. Yang penting nyawa Oli terselamatkan.

Selama menunggu Oli ditangani dokter, aku duduk bersama anak-anak “bandel” itu di halaman rumah sakit sambil berdiam diri. Tumben, mereka bisa duduk diam tanpa berteriak-teriak seperti biasanya.
“Bang, siapa yang akan membayar pengobatan Oli?” tanya salah seorang dari mereka.
“Aku juga tidak tahu,” jawabku.
Kami terdiam. Seolah-olah kami sibuk dengan pikiran kami masing-masing untuk mencari jalan keluarnya.
            “Bagaimana kalau sekarang kita berdoa, bang?” kata seorang dari mereka.
Aku tak menduga bahwa kalimat itu keluar dari mulut mereka yang dikenal “bandel” itu. Tak terpikir olehku untuk mengajak mereka berdoa karena selama ini mereka tidak pernah mau diajak berdoa. Kalaupun diajak berdoa, mereka akan berbicara sendiri selama doa itu.
            “Doa?! Oh iya, sekarang kita berdoa,” kataku. “Bagaimana kalau kita berdoa, berdua-berdua?” sambungku.
Tanpa diperintah dua kali, mereka masing-masing sudah mempunyai partner doa dan mereka melipat tangan, menutup mata, berdoa. Ya, anak-anak “bandel” itu berdoa. Luarbiasa, pikirku.

            Selesai berdoa, kembali kami terpekur diam. Tiba-tiba seorang dari mereka memberikan hp nya yang sudah butut kepadaku.
            “Bang, hp ini dijual saja untuk membayar pengobatan Oli”, katanya
            “Hp saya juga bisa dijual, bang,” kata yang seorang lagi.
           “Aku ga punya hp bang, tapi kemarin dikasih uang bapak buat beli buku,” dia menaruh uangnya yang tidak banyak di depanku.
            Aku terhenyak melihat tingkah mereka. Kasih kah itu? Mereka mau memberikan apa yang mereka punya dan mungkin mereka butuhkan untuk seorang kawan mereka yang terkena musibah. Bandelkah mereka?
            Tiba-tiba aku teringat bahwa kami punya tabungan bersama yang sudah kami kumpulkan dalam setahun ini. Rencananya uang itu akan kami gunakan untuk pergi bersama di masa liburan mendatang. Mungkin uang itu cukup untuk membantu Oli sebelum dana dari keluarganya datang, pikirku. Tetapi kalau uang itu digunakan dan keluarga Oli tidak mengembalikannya, maka acara tersebut harus dibatalkan karena kami tidak mempunyai dana untuk itu.
            “Kita punya tabungan untuk pergi bersama di masa liburan nanti,” kataku. “mungkin uang itu bisa membantu pengobatan Oli selama dana transfer dari Papua belum diterima,”sambungku.
Belum selesai aku berbicara, seorang dari mereka berkata:”berikan saja dulu pada Oli, nanti kalau uang transferan dari Papua sudah datang kan kita akan mendapatkan uang itu kembali. Toh liburannya masih sebulan lagi.”
            “Bagaimana kalau keluarga Oli tidak mengembalikan uang tabungan itu?” tanyaku
Mereka diam. Kami sudah lama sekali ingin pergi bersama dan sudah setahun lebih kami mengumpulkan dana sedikit demi sedikit. Mereka paham resiko yang akan kami hadapai seandainya uang itu tidak dikembalikan. Kami tidak akan jadi pergi. Sejenak kami terdiam.
            “Berikan saja pada Oli, bang,” akhirnya salah satu dari mereka memecah kesunyian.
            “Lalu bagaimana dengan rencana kita?” tanyaku
            “Ya kita tidak jadi pergi,” jawab mereka
            “Kalian rela memberikannya kepada Oli?” tanyaku lagi.
            “Daripada Oli mati, bang … lebih baik kita tidak jadi pergi”, jawab mereka.
            “Iya bang, Oli adalah bagian dari kami. Dia adalah anggota keluarga kami. Pergi tanpa dia juga tidak akan menyenangkan lagi,” kata mereka.
            “Jadi kita sepakat memberikan tabungan kita kepada Oli?” tanyaku lagi untuk memastikan.
            “Iya, bang”, jawab mereka tanpa keraguan.

Aku bangkit, mengambil motor dan pergi mengambil uang itu. Mereka tetap menunggu di rumah sakit tersebut sampai aku kembali dengan membawa uang tersebut. Uang itu kuberikan kepada mereka.

Kulihat mereka mendatangi Oli dan ibunya di kamar kelas tiga itu. Di tepi ranjang tempat Oli terbaring, seorang dari mereka menaruh uang itu ke tangan ibu Oli.
“Ini untuk Oli, tante”, katanya.
“Ini uang siapa?” tanya ibu Oli
“Ini uang tabungan kami” jawab mereka
Kulihat air-mata menggenang di mata ibu Oli. Air-mata meleleh ke pipi Oli.

“Terima kasih”, ibu Oli memeluk anak-anak “bandel” itu satu persatu.