Friday, January 4, 2013

MAHASISWAKU YANG BODOH

MAHASISWAKU YANG BODOH “Ibu, boleh saya minta ijin untuk mengambil dua puluh dua sks semester ini?” tanya Jordi mahasiswa bimbinganku. “Apa?!” teriakku. “semester lalu kamu hanya mengambil dua belas sks dan hasilnya ada dua nilai E, satu nilai D dan satu nilai C. Sekarang kamu mau mengambil dua puluh dua sks, yang bener saja,” kataku. Memang waktu itu peraturan pengambilan sks belum seketat sekarang sehingga masih dapat memberi peluang bagi mahasiswa macam Jordi untuk mengambil sks melebihi jatah yang boleh diambilnya. Walaupun demikian, aku tidak yakin bahwa Jordi akan sanggup mengampu dua puluh du a sks. Dari semester satu ipknya selalu kurang dari dua dan kupikir pada evaluasi mendatang ia akan dikeluarkan karena tidak mencukupi syarat yang diharuskan. Sering aku mempertanyakan apakah dia salah mengambil jurusan atau memang ia termasuk mahasiswa yang bodoh. Tapi jangan lupa, wajahnya ganteng… iya, wajah Jordi ganteng, aha!!! “Jordi, kamu tidak mungkin bisa mengampu dua puluh dua sks. Aku kuatir nilaimu akan menjadi E semua,” kataku lagi. “kalau kamu mengambil sedikit, kamu bisa lebih berkonsentrasi untuk mendapatkan nilai A, kalau bisa,” sambungku. “Tapi sama saja ibu,” katanya. “kalau saya hanya mengambil sedikit sks, walaupun saya lulus semua dengan nilai A, saya tetap tidak akan mencukupi jumlah sks yang diminta. Lebih baik saya mengambil banyak, kalau saya bisa lulus semua masih ada kemungkinan bagi saya untuk lanjut. Kalau tidak, ya sudah saya akan keluar,” katanya. Kuteliti lagi catatan perkuliahan Jordi. Rasanya memang ia adalah kandidat drop out yang sangat kuat. Kuhitung-hitung sampai masa evaluasi nanti, sksnyapun tidak akan mencukupi batas yang diminta. Dia benar. Hanya ada satu cara untuk menyelamatkan studinya yaitu memberinya ijin untuk mengambil dua puluh dua sks semester ini. Seandainya kuberi ijin mengambil dua puluh dua sks dan ia berhasil lulus semua dengan nilai B maka kemungkinan dia masih bisa mengejar ketinggalannya. Ternyata dia bukan mahasiswa yang bodoh, pikirku. Kalau tidak bodoh, mengapa nilainya begitu buruk? Apakah dia mahasiswa yang jarang belajar? Ah, entahlah, aku hanya melihat fakta bahwa nilainya buruk dan mungkin dia bodoh tapi ganteng. Daripada kuberi dia hanya mengambil sks sesuai dengan apa yang seharusnya dan dia akan drop out di kemudian hari maka aku memilih mengambil alternative yang lain. Memberinya ijin untuk mengambil dua puluh dua sks. Kalau dia berhasil lulus berarti studinya terselamatkan, kalau tidak dia akan keluar. Toh hanya itu satu-satunya jalan, pikirku. Untunglah peraturan saat itu tidak seketat sekarang. “Oke, saya memberimu ijin mengambil dua puluh dua sks tapi kamu harus membuat surat pernyataan yang menyatakan kalau kamu tidak berhasil mendapat nilai cukup, kamu bersedia mengundurkan diri,” kataku. “Iya bu, saya berjanji akan menggunakan kesempatan ini sebaik-baiknya,”katanya. Jujur, aku tidak mempercayai janjinya itu dan juga tidak begitu berharap bahwa ia bisa menyelamatkan studinya. Tapi itu satu-satunya jalan yang terbaik menurutku. Di akhir semester nanti akan terbukti apakah ia seorang mahasiswa yang bodoh atau malas. Satu semester telah berlalu dan siang itu Jordi membawa secarik kertas berisi nilai-nilai yang diperolehnya semester yang barusan berlalu. Setelah duduk, dia memberikan kertas itu kepadaku. Aku membukanya dan kubaca sederetan huruf di kolom paling kiri. Aku terbelalak dengan nilai tersebut. Nyaris semua mendapat nilai A dan hanya satu mata kuliah mendapat nilai B. “Jordi, apa-apaan ini?” tanyaku “Nilai saya, ibu”, jawabnya “Kenapa A semua? Ini bukan hal yang lucu kan?” tanyaku “Mengapa lucu, bu. Itu memang hasil yang saya raih semester ini’” katanya “Bagaimana kamu bisa dapat A semua?” tanyaku “Belajar, bu,” jawabnya “Jadi selama ini kamu tidak belajar?” tanyaku “Tidak, bu,” jawabnya Mataku melotot. “Kamu bodoh sekali,” teriakku. “Mengapa kamu tidak belajar selama ini? Seandainya kamu belajar pastilah kamu sudah lulus semester lalu dengan IPK yang cukup tinggi,” kataku. Dia diam saja “Mungkin kamu sudah bisa bekerja sekarang dan dapat menyenangkan orangtuamu. Benar-benar kamu bodoh sekali! Hasilmu semester ini tidak menjamin kamu tidak di drop out kalau semester depan hasilmu kembali bertaburan nilai E,” kataku. “Iya bu, saya tahu itu,” sahutnya. “saya berjanji akan belajar dengan baik,” katanya. Kali ini aku sedikit percaya cemas dengan janjinya. Satu semester lagi sudah berlalu dan dia kembali dating dengan secarik kertas yang diberikannya kepadaku. “Bagaimana,” tanyaku “Ibu lihat saja sendiri,” sahutnya dengan senyumannya yang membuat wajahnya tambah ganteng. Kubuka secarik kertas tersebut dan kulihat semua berhuruf A. “Benar-benar tidak lucu! Seruku. Kamu benar-benar bodoh. Coba dari dulu kamu begini pasti kamu sudah lulus, mungkin dengan predikat cum-laude”. Mengapa kamu dahulu begitu bodoh?” tanyaku lagi. “Kalau saya tidak bodoh, adik saya tidak akan pernah menjadi dokter, bu,” jawabnya kemudian. Aku terdiam mendengar jawabannya. “Maksudmu?” tanyaku “Selama ini saya tidak sempat belajar, bu. Saya harus bekerja untuk membiayai adik saya yang kuliah di fakultas kedokteran. Dia adalah kebanggaan ayah dan ibu saya tapi mereka tidak sanggup membiayai kuliahnya. Karena itu saya bekerja dan berusaha supaya adik saya bisa menjadi dokter dan menyenangkan hati orangtua kami,” ceritanya “Tapi dengan begitu, kamu mengorbankan kuliahmu”, kataku “Tidak apa-apa, bu. Apa yang saya berikan tidak seberapa dibandingkan pengorbanan orangtua kami dalam membesarkan kami,” sahutnya. “ayah kami seorang sopir angkot, bu,” sambungnya. Sepertinya aku tak punya kata-kata untuk meresponi ceritanya. Aku kagum sekali pada mahasiswaku yang bodoh tapi ganteng ini. “Adik saya sudah jadi dokter, bu dan dia sudah bekerja. Sejak saat itu saya punya waktu untuk belajar. Berharap semester depan saya juga bisa lulus,” katanya. Kembali senyumnya merebak. Aku berdiri. Kuulurkan tanganku padanya. “Jordi, aku bangga mempunyai mahasiswa bodoh seperti kamu. Aku belajar banyak dari kamu,” kataku. Dia menjabat tanganku “Ah, ibu bisa saja,” katanya sambil keluar dari ruangan kerjaku. Aku tersenyum sambil merobek surat pernyataan pengunduran diri yang pernah dibuat Jordi. Surat itu sudah tidak diperlukan lagi.

No comments:

Post a Comment