“Nanti dedek dikasih baju kayak
Barbie begini,” kata Mona, anakku yang sulung kepada adiknya Nina. Adiknya
mengangguk mengiyakan.
Mereka
sedang asyik bermain boneka di kamarku sementara aku tengah merajut baju bayi kami
yang menurut dugaan dokter akan lahir dua minggu lagi. Semua perlengkapan bayi
sudah kami persiapkan. Selain itu, aku dan suami berusaha menyiapkan hati
anak-anak kami sehingga mereka tidak akan cemburu dengan kehadiran adik mereka
nanti. Setiap ada kesempatan aku selalu menceritakan kepada Mona dan Nina
betapa senangnya mempunyai seorang adik. Dia bisa diajak bermain bersama dan
rumah pasti akan tambah ramai dengan hadirnya adik mereka nanti. Kelihatannya
cerita-cerita tentang senangnya mempunyai adik cukup bermanfaat. Mona dan Nina
kelihatan antusias sekali menantikan kelahiran calon adik mereka. Saat itu Umur
Mona 6 tahun dan umur Nina 3 tahun.
“Lalu rambut dedek akan dikuncir
juga ya?” tanya Nina kepada kakaknya.
“Iya,” jawab kakaknya. “terus kita kasih
dia minum susu seperti dedeknya kakak Ita.”
Ita
adalah tetangga depan rumah yang baru melahirkan bayinya dua bulan yang lalu.
“Kalau begitu kita sekarang harus
mencari nama buat dedek kita,” sambung Mona lagi. Nina pun antusias dengan usul
kakaknya untuk mencari nama bagi calon adik mereka nanti. Beberapa nama
disebutkan.
Aku geli mendengar celotehan
anak-anakku ini. Rupanya mereka sudah tidak sabar menunggu kedatangan adik
mereka yang baru. Betapa senangnya membayangkan rumahku akan dipenuhi celotehan
dua anak kecil dan tangis seorang bayi mungil. Akupun rasanya tidak sabar
menantikan kelahiran anakku yang ketiga ini. Dokter bilang, anakku yang ketiga
ini juga perempuan.
Sepertinya anakku yang ketiga ini
agak malas karena sudah lewat dua minggu ia belum menunjukkan tanda-tanda bahwa
ia akan lahir. Akhirnya sore itu, aku dan suamiku ke rumah sakit. Mona dan Nina
kami titipkan kepada nenek mereka.
“Mami mau kemana ….. aku ikut,” kata
Nina setengah merengek
“Aku juga….. boleh ya mam?” sambung
Mona
“Tidak bisa sayang, kalian di rumah
oma dan opa ya,” jawabku
“Ga mau, ga mau ….. aku mau ikut,”
mereka bebarengan merengek mau ikut.
“Kalian mau punya adik, jadi mama
dan papa mau ke dokter supaya adik segera lahir,” jawabku.
Mendengar
jawabanku, mereka berhenti merengek dan mulai meloncat-loncat kegirangan.
“Hore, kita mau punya dedek,” teriak
mereka bergantian.
“Kapan, dedek dibawa pulang, mami?”
tanya Mona
“Tidak lama lagi. Yang jelas minggu
depan kita sudah bisa bermain dengan adik,” jawabku.
“Hore … hore … kita akan punya
dedek,” kembali mereka berteriak-teriak kegirangan.
Kamipun
segera berangkat ke rumah sakit untuk menemui dokter kandunganku.
“Sepertinya ibu harus melahirkan
secara cesar,” kata dokter kandunganku setelah beberapa saat memeriksa
kandunganku.
“Kenapa, dokter? Ada yang tidak
beres?” tanyaku cemas.
“Sepertinya detak jantung bayi ibu
sangat lemah,” jawab dokter itu
“Tapi dia masih hidup kan?” tanyaku
“Masih, karena itu kita harus segera
mengeluarkannya,” jawabnya.
Mulailah
kami sibuk dengan urusan operasi cesar tersebut. Dan bayi kamipun lahir dengan
selamat melalui operasi cesar tersebut.
Bayiku sangat cantik, mungil,
berkulit kuning. Tetapi aku heran karena bayiku jarang menangis, tidak seperti
Mona dan Nina saat dilahirkan dulu.
“Kenapa bayi saya sangat pendiam,
dok?” tanyaku suatu kali
“Ibu, maafkan saya harus mengatakan
bahwa kondisi bayi ibu sangat tidak baik. Kemungkinan dia bisa bertahan hidup hanya
lima persen,” jawab dokter itu
“Apa?! Teriakku. “tapi mengapa, waktu
di kandungan bayiku baik-baik saja kan?” teriakku sambil menangis.
Penjelasan
dokter tidak lagi bisa kumengerti. Yang ada di benakku saat itu adalah
kemungkinan anakku bisa bertahan hidup sangat kecil. Aku dan suamiku
bertangisan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Setelah pulih, aku menengok ruang
bayi tempat anakku dirawat. Dia tertidur sangat manis di dalam incubator dengan
jarum-jarum menusuk kepala dan tangannya. Selang-selang melilit tubuhnya yang
mungil. Aku tak tega melihatnya. Aku menangis setiap kali mengingat anak
sekecil ini sudah harus menderita seperti itu. Kadang kulihat dia seperti sesak
nafas, kadang kejang dan sebagainya. Kami hanya bisa menonton dari balik
jendela kaca tanpa bisa menyentuhnya atau memeluknya.
“Hore … mami pulang,” teriak kedua
anakku waktu aku pulang ke rumah.
“Dedek mana, mami. Kok ga dibawa
pulang?” tanya anak-anakku
Sangat
sulit bagi kami saat itu untuk menahan tangis di depan ke dua anak kami ini.
Mereka belum bisa mengerti. Aku segera masuk ke kamar mandi dan menangis di
sana. Samar kudengar suamiku menjawab kedua anakku itu: “Dedek sakit, jadi
harus diobati dulu oleh dokter. Nanti kalau sudah sembuh baru dibawa pulang.”
Pagi
itu, hari Minggu ….. kriiiing, telepon
bordering. Suamiku yang mengangkatnya. Tak lama bicara, dia menutup telepon
kembali. Perasaanku tidak enak. Suamiku menuntunku ke kamar. Dia memelukku dan
sambil menangis dia membisikkan kalimat yang telah lama kucemaskan :”Anak kita
sudah pergi, Ria.”
Sudah
kuduga, pasti berita ini akan datang juga. Kami menangis berdua dengan banyak
pertanyaan “mengapa”. Mengapa kami harus kehilangan anak kami? Mengapa kami
harus mengalami kekecewaan ini? Mengapa ini… mengapa itu … mengapa begini …
mengapa begitu? Belum lagi ditambah bagaimana kami harus menghadapi anak-anak
kami yang sangat merindukan kedatangan adiknya. Bagaimana kami dapat
menceritakan apa yang terjadi pada mereka? Tentu mereka akan kecewa sekali.
Lama kami menangis dan bingung.
“Tuhan tidak pernah salah, Ria,”
kata suamiku. “walaupun saat ini kita belum mengerti apa rencana-Nya dengan
semua ini.” Begitulah suamiku mencoba menghiburku. Dan kami mulai memandang ke
atas dimana Dia ada, memegang kendali atas semuanya. Kami berdoa bersama dan
mulai memberi tahu sanak saudara.
Kami pergi mengambil bayi kami yang
sudah tidak bernyawa lagi. Kami membawanya pulang. Memberikan pakaian bayi yang
kurajut dan kutidurkan di atas dipan ruang keluarga. Tamu-tamupun mulai
berdatangan dan rumahku dipenuhi banyak orang.
“Mami …… kenapa dedek tidur terus?”
tanya anak-anakku, masih dengan nada gembira.
“Dedek sudah pergi,” jawabku
“Pergi kemana?” tanya anak-anakku
“Ke surga,” jawabku
“Sampai kapan, mami?” tanya mereka
lagi
Kupeluk
kedua anakku dan kubisikkan ke telinga mereka:”dedek pergi ke tempat yang
senang bersama Tuhan, selamanya.”
Mona, anakku yang berumur 6 tahun
rupanya sudah bisa mengerti adanya kematian. Ia sudah pernah mengalami kematian
nenekku dan sejak itu ia tahu bahwa ia tidak pernah lagi bisa melihat neneknya.
Mona menangis sejadi-jadinya. Kupeluk dia.
“Dedek sakit dan sangat kesakitan.
Tapi Tuhan sayang sama dedek sehingga dedek dibawa ke rumah Tuhan supaya dia
tidak sakit lagi. Nanti satu kali kita akan bertemu dedek,” jawabku. Tamu-tamu
yang lainpun mencoba menghibur Mona. Sampai akhirnya iapun berhenti menangis.
Berbeda dengan Mona, anakku yang
kedua masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa adiknya sudah tiada. Mungkin ia
berpikir bahwa adiknya sedang tidur. Ia pergi ke kamarnya dan kembali membawa
beberapa boneka kesayangannya. Semua boneka itu ditaruh disamping adiknya.
“Ini boneka buat dedek semuanya,”
katanya. “nanti kita main-main ya, kalau dedek sudah bangun.”
Tingkahnya
itu membuat aku, suamiku dan banyak tamu menangis. Satu hal yang aku yakini
adalah bahwa Tuhan tak pernah salah dan Dia mengasihi kami. Kayakinan inilah
yang menghibur aku dan suamiku. Aku bertekat akan menanamkan kebenaran itu
kepada kedua anakku nanti. Suatu kali mereka akan mengerti.
Kami membawa bayi kami menaiki mobil
ambulans menuju ke pemakaman. Tubuhnya berada dalam gendongan suamiku. Aku
memangku Nina dan Mona duduk di sampingku sambil sekali-kali sesenggukan. Perjalanan
ke makam lumayan jauh.
“Mami, kita mau kemana?” tanya Nina,
anakku yang kecil
“Mau antar dedek,” jawabku
“Dedek mau pergi kemana?” tanyanya
lagi
“Ke
surga,” jawabku
Mungkin
perjalanan yang lumayan panjang itu membuat Nina merasa lelah. Setelah lama
asyik bermain-main sendiri dengan bonekanya, ia menghela nafas, dan menguap
sambil berujar:”Mami, surga itu jauh ya, dari tadi ga nyampe-nyampe.”
Aku
tak bisa menjawabnya. Kupeluk dia.
Selesai pemakaman, rumah kami terasa
lengang. Seperti ada suatu harapan yang hilang. Ada satu kesedihan yang tidak mungkin
kami anggap tidak ada. Kereta bayi, baju-baju bayi, semua menambah kekosongan
yang ada. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku melihat bahwa Tuhan tidak pernah meninggalkan kami dan kami
percaya bahwa Dia baik dan sangat mengasihi kami.
Sekarang Mona dan Nina sudah beranjak
remaja. Mereka mungkin tidak lagi mengingat persis apa yang terjadi saat itu.
Mungkin kesedihan mereka karena tidak jadi mendapatkan seorang adik sudah
hilang. Tetapi satu hal yang terpenting adalah bahwa sekarang mereka
mengenal Jalan ke surga, yang dulu mereka katakan jauh itu …... To God be all glory.
No comments:
Post a Comment