Friday, January 11, 2013

"MAMI, SURGA ITU JAUH YA?"

     

            “Nanti dedek dikasih baju kayak Barbie begini,” kata Mona, anakku yang sulung kepada adiknya Nina. Adiknya mengangguk mengiyakan.
Mereka sedang asyik bermain boneka di kamarku sementara aku tengah merajut baju bayi kami yang menurut dugaan dokter akan lahir dua minggu lagi. Semua perlengkapan bayi sudah kami persiapkan. Selain itu, aku dan suami berusaha menyiapkan hati anak-anak kami sehingga mereka tidak akan cemburu dengan kehadiran adik mereka nanti. Setiap ada kesempatan aku selalu menceritakan kepada Mona dan Nina betapa senangnya mempunyai seorang adik. Dia bisa diajak bermain bersama dan rumah pasti akan tambah ramai dengan hadirnya adik mereka nanti. Kelihatannya cerita-cerita tentang senangnya mempunyai adik cukup bermanfaat. Mona dan Nina kelihatan antusias sekali menantikan kelahiran calon adik mereka. Saat itu Umur Mona 6 tahun dan umur Nina 3 tahun.
           
            “Lalu rambut dedek akan dikuncir juga ya?” tanya Nina kepada kakaknya.
            “Iya,” jawab kakaknya. “terus kita kasih dia minum susu seperti dedeknya kakak Ita.”
Ita adalah tetangga depan rumah yang baru melahirkan bayinya dua bulan yang lalu.
            “Kalau begitu kita sekarang harus mencari nama buat dedek kita,” sambung Mona lagi. Nina pun antusias dengan usul kakaknya untuk mencari nama bagi calon adik mereka nanti. Beberapa nama disebutkan.

            Aku geli mendengar celotehan anak-anakku ini. Rupanya mereka sudah tidak sabar menunggu kedatangan adik mereka yang baru. Betapa senangnya membayangkan rumahku akan dipenuhi celotehan dua anak kecil dan tangis seorang bayi mungil. Akupun rasanya tidak sabar menantikan kelahiran anakku yang ketiga ini. Dokter bilang, anakku yang ketiga ini juga perempuan.

            Sepertinya anakku yang ketiga ini agak malas karena sudah lewat dua minggu ia belum menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan lahir. Akhirnya sore itu, aku dan suamiku ke rumah sakit. Mona dan Nina kami titipkan kepada nenek mereka.
            “Mami mau kemana ….. aku ikut,” kata Nina setengah merengek
            “Aku juga….. boleh ya mam?” sambung Mona
            “Tidak bisa sayang, kalian di rumah oma dan opa ya,” jawabku
            “Ga mau, ga mau ….. aku mau ikut,” mereka bebarengan merengek mau ikut.
            “Kalian mau punya adik, jadi mama dan papa mau ke dokter supaya adik segera lahir,” jawabku.
Mendengar jawabanku, mereka berhenti merengek dan mulai meloncat-loncat kegirangan.
            “Hore, kita mau punya dedek,” teriak mereka bergantian.
            “Kapan, dedek dibawa pulang, mami?” tanya Mona
            “Tidak lama lagi. Yang jelas minggu depan kita sudah bisa bermain dengan adik,” jawabku.
            “Hore … hore … kita akan punya dedek,” kembali mereka berteriak-teriak kegirangan.
Kamipun segera berangkat ke rumah sakit untuk menemui dokter kandunganku.

            “Sepertinya ibu harus melahirkan secara cesar,” kata dokter kandunganku setelah beberapa saat memeriksa kandunganku.
            “Kenapa, dokter? Ada yang tidak beres?” tanyaku cemas.
            “Sepertinya detak jantung bayi ibu sangat lemah,” jawab dokter itu
            “Tapi dia masih hidup kan?” tanyaku
            “Masih, karena itu kita harus segera mengeluarkannya,” jawabnya.
Mulailah kami sibuk dengan urusan operasi cesar tersebut. Dan bayi kamipun lahir dengan selamat melalui operasi cesar tersebut.

            Bayiku sangat cantik, mungil, berkulit kuning. Tetapi aku heran karena bayiku jarang menangis, tidak seperti Mona dan Nina saat dilahirkan dulu.
            “Kenapa bayi saya sangat pendiam, dok?” tanyaku suatu kali
            “Ibu, maafkan saya harus mengatakan bahwa kondisi bayi ibu sangat tidak baik. Kemungkinan dia bisa bertahan hidup hanya lima persen,” jawab dokter itu
            “Apa?! Teriakku. “tapi mengapa, waktu di kandungan bayiku baik-baik saja kan?” teriakku sambil menangis.
Penjelasan dokter tidak lagi bisa kumengerti. Yang ada di benakku saat itu adalah kemungkinan anakku bisa bertahan hidup sangat kecil. Aku dan suamiku bertangisan, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.

            Setelah pulih, aku menengok ruang bayi tempat anakku dirawat. Dia tertidur sangat manis di dalam incubator dengan jarum-jarum menusuk kepala dan tangannya. Selang-selang melilit tubuhnya yang mungil. Aku tak tega melihatnya. Aku menangis setiap kali mengingat anak sekecil ini sudah harus menderita seperti itu. Kadang kulihat dia seperti sesak nafas, kadang kejang dan sebagainya. Kami hanya bisa menonton dari balik jendela kaca tanpa bisa menyentuhnya atau memeluknya.

            “Hore … mami pulang,” teriak kedua anakku waktu aku pulang ke rumah.
            “Dedek mana, mami. Kok ga dibawa pulang?” tanya anak-anakku
Sangat sulit bagi kami saat itu untuk menahan tangis di depan ke dua anak kami ini. Mereka belum bisa mengerti. Aku segera masuk ke kamar mandi dan menangis di sana. Samar kudengar suamiku menjawab kedua anakku itu: “Dedek sakit, jadi harus diobati dulu oleh dokter. Nanti kalau sudah sembuh baru dibawa pulang.”
Pagi itu, hari Minggu …..  kriiiing, telepon bordering. Suamiku yang mengangkatnya. Tak lama bicara, dia menutup telepon kembali. Perasaanku tidak enak. Suamiku menuntunku ke kamar. Dia memelukku dan sambil menangis dia membisikkan kalimat yang telah lama kucemaskan :”Anak kita sudah pergi, Ria.”
Sudah kuduga, pasti berita ini akan datang juga. Kami menangis berdua dengan banyak pertanyaan “mengapa”. Mengapa kami harus kehilangan anak kami? Mengapa kami harus mengalami kekecewaan ini? Mengapa ini… mengapa itu … mengapa begini … mengapa begitu? Belum lagi ditambah bagaimana kami harus menghadapi anak-anak kami yang sangat merindukan kedatangan adiknya. Bagaimana kami dapat menceritakan apa yang terjadi pada mereka? Tentu mereka akan kecewa sekali. Lama kami menangis dan bingung.
            “Tuhan tidak pernah salah, Ria,” kata suamiku. “walaupun saat ini kita belum mengerti apa rencana-Nya dengan semua ini.” Begitulah suamiku mencoba menghiburku. Dan kami mulai memandang ke atas dimana Dia ada, memegang kendali atas semuanya. Kami berdoa bersama dan mulai memberi tahu sanak saudara.

            Kami pergi mengambil bayi kami yang sudah tidak bernyawa lagi. Kami membawanya pulang. Memberikan pakaian bayi yang kurajut dan kutidurkan di atas dipan ruang keluarga. Tamu-tamupun mulai berdatangan dan rumahku dipenuhi banyak orang.
            “Mami …… kenapa dedek tidur terus?” tanya anak-anakku, masih dengan nada gembira.
            “Dedek sudah pergi,” jawabku
            “Pergi kemana?” tanya anak-anakku
            “Ke surga,” jawabku
            “Sampai kapan, mami?” tanya mereka lagi
Kupeluk kedua anakku dan kubisikkan ke telinga mereka:”dedek pergi ke tempat yang senang bersama Tuhan, selamanya.”

            Mona, anakku yang berumur 6 tahun rupanya sudah bisa mengerti adanya kematian. Ia sudah pernah mengalami kematian nenekku dan sejak itu ia tahu bahwa ia tidak pernah lagi bisa melihat neneknya. Mona menangis sejadi-jadinya. Kupeluk dia.
            “Dedek sakit dan sangat kesakitan. Tapi Tuhan sayang sama dedek sehingga dedek dibawa ke rumah Tuhan supaya dia tidak sakit lagi. Nanti satu kali kita akan bertemu dedek,” jawabku. Tamu-tamu yang lainpun mencoba menghibur Mona. Sampai akhirnya iapun berhenti menangis.

            Berbeda dengan Mona, anakku yang kedua masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa adiknya sudah tiada. Mungkin ia berpikir bahwa adiknya sedang tidur. Ia pergi ke kamarnya dan kembali membawa beberapa boneka kesayangannya. Semua boneka itu ditaruh disamping adiknya.
            “Ini boneka buat dedek semuanya,” katanya. “nanti kita main-main ya, kalau dedek sudah bangun.”
Tingkahnya itu membuat aku, suamiku dan banyak tamu menangis. Satu hal yang aku yakini adalah bahwa Tuhan tak pernah salah dan Dia mengasihi kami. Kayakinan inilah yang menghibur aku dan suamiku. Aku bertekat akan menanamkan kebenaran itu kepada kedua anakku nanti. Suatu kali mereka akan mengerti.

            Kami membawa bayi kami menaiki mobil ambulans menuju ke pemakaman. Tubuhnya berada dalam gendongan suamiku. Aku memangku Nina dan Mona duduk di sampingku sambil sekali-kali sesenggukan. Perjalanan ke makam lumayan jauh.
            “Mami, kita mau kemana?” tanya Nina, anakku yang kecil
            “Mau antar dedek,” jawabku
            “Dedek mau pergi kemana?” tanyanya lagi
“Ke surga,” jawabku
Mungkin perjalanan yang lumayan panjang itu membuat Nina merasa lelah. Setelah lama asyik bermain-main sendiri dengan bonekanya, ia menghela nafas, dan menguap sambil berujar:”Mami, surga itu jauh ya, dari tadi ga nyampe-nyampe.”
Aku tak bisa menjawabnya. Kupeluk dia.

            Selesai pemakaman, rumah kami terasa lengang. Seperti ada suatu harapan yang hilang. Ada satu kesedihan yang tidak mungkin kami anggap tidak ada. Kereta bayi, baju-baju bayi, semua menambah kekosongan yang ada. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, aku melihat bahwa Tuhan  tidak pernah meninggalkan kami dan kami percaya bahwa Dia baik dan sangat mengasihi kami.

Sekarang Mona dan Nina sudah beranjak remaja. Mereka mungkin tidak lagi mengingat persis apa yang terjadi saat itu. Mungkin kesedihan mereka karena tidak jadi mendapatkan seorang adik sudah hilang. Tetapi satu hal yang terpenting adalah bahwa sekarang  mereka mengenal Jalan ke surga, yang dulu mereka katakan jauh itu …... To God be all glory.
            

No comments:

Post a Comment