(Jeritan kisah seorang gay)
“Mengapa aku harus begini? Mengapa
aku tidak bisa menikmati hidup yang normal? Mengapa”? Itu menjadi jeritan
hatiku setiap hari. Itu menjadi kemarahanku kepada Yang di Atas. Mengapa …..
mengapa…. mengapa? Apa salahku sehingga aku harus mengalami kelainan seperti
ini?
“Praaaaang”!!!!! suara piring pecah
“Istri macam apa kamu?”
Paarr!!!!! Suara tamparan disusul
dengan suara tangisan ibuku.
Hal seperti itu selalu kudengar
hampir setiap hari. Dari kecil aku mendengar
kata-kata kotor dan makian dari ayahku yang dilontarkan kepada ibuku. Aku
kasihan melihat ibuku menangis, tertekan dan kesakitan karena pukulan ayahku.
Kadang aku harus melarikan adik perempuanku ke rumah nenek supaya ia tidak
melihat perang “mahabaratha”di rumah
kami. Setelah itu aku harus cepat-cepat kembali ke rumah untuk menjadi penengah
di tengah-tengah peperangan antara ayah dan ibuku. Tidak jarang mereka perang
mulut sambil memegang pisau. Sebagai seorang anak, aku takut….. sangat takut.
Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Dari kecil aku tertekan dengan
perlakuan ayahku. Aku lebih senang setiap kali ayahku tidak ada di rumah tetapi
diam-diam kerinduanku akan sosok seorang ayah yang mengasihiku tumbuh dalam
diriku. Ibuku seorang wanita yang baik tetapi karena ia selalu ditekan dan
dilukai oleh ayahku, ia jadi sering menumpahkan kekesalan hatinya kepadaku dan
kepada adikku. Kadang tanpa alasan kami kena makian dan pukulan juga oleh ibu.
Rumah kami menjadi seperti neraka. Aku ingin lari, tapi lari kemana? Terlintas
dalam hatiku untuk mati.
Sejak kecil aku tidak pernah
merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku iri setiap kali aku melihat
teman-temanku bepergian bersama ayah dan ibu mereka. Bagiku, sosok seorang ayah
itu tak pernah ada, walaupun secara fisik aku mempunyai seorang ayah. Aku
mendambakan seorang ayah, seorang ayah yang mengasihiku.
Hal itu terus berlanjut sampai aku
menyadari bahwa sejak berumur tiga tahun, aku lebih tertarik kepada laki-laki
dibandingkan kepada perempuan. Beranjak dewasa, ketertarikanku kepada laki-laki
semakin kuat. Aku tidak pernah bisa mencintai perempuan. Aku mencintai
laki-laki. Ya, aku menyadari bahwa aku seorang gay walaupun aku tidak mau
menerima kenyataan itu. Sakit rasanya setiap kali aku mengingat bahwa aku bukan
orang yang normal. Apa salahku? Mengapa aku harus seperti ini? Tuhan, aku tidak
ingin menjadi seperti ini.
Aku tidak bisa menceritakan
keabnormalanku kepada siapapun termasuk kepada ibuku. Aku tidak mau menambah
penderitaanya. Semua kupendam sendiri… sendiri… dalam kesunyian hati yang kian
menekan. Akhirnya aku berpikir bahwa aku harus mencari teman dan kegiatan
sehingga aku tidak tersiksa oleh kesendirian dan kehampaan. Akhirnya aku
bergabung dengan suatu komunitas dimana di situ aku bisa menyalurkan
kegemaranku.
“Rudi….” kulihat kawanku di komunitas
itu, Andini namanya, mendekatiku
“Ada apa?” tanyaku
“Rud, ada yang ingin kuceritakan
kepadamu,” katanya. “Yuk, kita duduk di pojok kantin.”
Aku pergi mengikuti Andini, pesan
kopi dan singkong rebus duduk di pojok kantin.
“Ada apa, serius amat?” tanyaku.
“Tahu ga kamu, si Anita suka sama
kamu… dia bilang ke aku.” cerita Dini
Glek, kopi yang baru kuseruput dengan
cepat tertelan. Waduh, bagaimana ini? Seorang wanita mencintaiku…. Gawat!!!!
“Eh, kok malah keselek sih. Kamu suka
ga sama dia?” tanya Dini lagi setengah mendesak
“Aku belum pernah memikirkan hal
itu,” jawabku sekenanya
“Jadi kamu ga suka sama dia?” tanya
Dini lagi.
“Engga…..”, jawabku dengan gugup.
Sejak saat itu, Dini sering
mengajakku berbicara dan ia dengan antusias menceritakan cinta Anita kepadaku.
Apapun yang diceritakan Anita kepadanya, diceritakannya kepadaku.
“Engga…..”, jawabku.
Makin lama aku makin gugup setiap
kali Dini menceritakan soal Anita kepadaku. Aku tidak mau orang tahu bahwa aku
seorang gay. Bahwa aku tidak bisa mencintai wanita. Sampai suatu kali ….
“Rud, bener kamu tidak mencintai
Anita?” tanya Dini
“Engga,” jawabku
Dini diam ….. tertunduk
“Kenapa,” tanyaku
Lama Dini baru tengadah dan berkata:
“Sebenarnya aku juga suka kamu. Apa kamu suka padaku?”
Bagai disambar geledek di tengah hari
bolong aku menjadi seperti orang linglung.
“Apa?!” teriakku
“Iya, aku suka kamu dan aku rasa kita
selama ini cocok.” jawab Dini berharap aku mengiyakan.
Keringat dingin membasahi tubuhku.
Aku tidak mempunyai keberanian mengatakan kepada Dini bahwa aku seorang gay.
“Aku tidak mau membicarakan soal
begituan,” jawabku
“Jadi?” tanya Dini menatapku
Kuberanikan diri untuk menatap
matanya. Aku tahu ada cinta di situ. Lambat aku berkata kepadanya: “aku tidak
bisa, Dini. Kuharap kamu tidak membicarakan hal itu lagi.”
Tiba-tiba Dini lari meninggalkanku
sambal menangis. Aku merasa bersalah telah membuat Dini menangis. Pasti ia
kecewa dan sakit hati. Tapi apa boleh buat, aku memang tidak bisa mencintai perempuan.
Tidak ada sedikitpun ketertarikanku kepada yang disebut kaum hawa itu.
Dini menjauhiku. Anita pun
menjauhiku. Aku mulai tidak nyaman dengan keadaan dalam komunitas itu. Dan
ternyata ketidak nyamananku belum berakhir.
“Rudiiiiiii……..,” seorang wanita
memanggilku
“Boleh aku pulang bersamamu?” katanya
dengan manja.
Gadis cantik itu berdiri di depanku
menunggu jawabanku.
“Kan rumah kita berlawanan arah,”
jawabku
“Kamu kan bisa antar aku pulang
dulu,” katanya dengan nada yang masih manja seperti tadi.
“Kenapa aku harus mengantarmu?
Biasanya juga kamu pulang sendiri,” jawabku
Tiba-tiba mata gadis cantik itu
berkaca-kaca dan berkata:”kamu tidak punya hati, Rudi. Tidak punya perasaan.
Kamu kasar……”, lalu ia beranjak pergi.
Aku bingung. Aku menangis. Seandainya
saja aku bisa, aku pasti memilih satu diantara kalian. “Mengapa aku mesti
begini, Tuhan?” rintihku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar
dari komunitas tersebut dan kembali pada duniaku yang sepi. Setiap pulang
kerja, aku langsung pulang ke tempat kosku dan menyendiri. Sampai akhirnya aku
mengenal seorang rekan kerja yang memenuhi kriteriaku. Aku suka dia. Sebut saja
namanya Hans. Aku berusaha mendekatinya dengan berperilaku sebagai seorang
laki-laki. Aku tidak mau dia mengetahui siapa aku sebenarnya karena aku takut
kalau dia mengetahuinya, nantinya dia akan meninggalkanku. Jadi kami berkawan dekat selayaknya rekan
kerja. Aku senang bisa dekat dengan dia walaupun aku sadar tidak mungkin aku
bisa memilikinya karena dia laki-laki normal, sedangkan aku tidak.
Suatu hari kami mengadakan tour
bersama dengan teman-teman sekantor. Aku senang sekali membayangkan bahwa aku
bisa bersama dia paling tidak tiga hari dan dua malam. Aku bisa lebih dekat
melihat kehidupannya dan setidaknya aku bisa terus bersamanya selama tour itu.
“Selamat pagi……,” sapaku pada
teman-temanku
Lalu aku mendekati Hans dengan hati
berbunga-bunga. Kudekati dia dan kupegang bahunya dengan ringan. Tetapi yang
terjadi di luar dugaanku. Hans menepiskan tanganku dari bahunya dan berteriak
dengan suara keras di depan kawan-kawan kerjaku yang lain:”Rudi, kamu homo ya?”
Clep, hatiku seperti ditusuk benda
tajam. Mukaku merah padam. Hatiku sakit sekali. Apa yang selama ini kupendam
sendirian sekarang diumumkan di depan khalayak ramai. Aku pingin menangis, tapi
aku tidak siap mengakuinya di depan orang banyak seperti ini. Apalagi orang
yang mengatakannya adalah orang yang selama ini aku kasihi dengan sepenuh
hatiku. Tapi aku berusaha menenangkan hatiku dan kutatap matanya. “Kalau aku
homo, terus kenapa?” kataku.
Setelah itu kutinggalkan semua dan
aku pulang kembali ke kosku, ke duniaku yang sepi. Di situ aku menangis
sejadi-jadinya. Hatiku sakit. “Tuhan, mengapa aku harus seperti ini?” rintihku.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kantor itu.
Setelah kejadian itu, aku berusaha
mencari pekerjaan karena ayahku sudah meninggal dunia dan aku harus menanggung
hidup ibuku dan adik perempuanku. Setelah tiga bulan aku tidak mendapat
pekerjaan, akhirnya aku mendapat satu pekerjaan juga. Di situ aku berkenalan
dengan seorang pria macho bernama Dharma. Aku menjadi dekat dengan dia dan kami
sering menghabiskan waktu bersama-sama. Apalagi tempat kos ku tidak jauh
letaknya dari rumahnya sehingga kami sering pulang kerja bersama-sama. Aku
tergila-gila padanya. Inilah pria idamanku. Siang malam aku selalu merindukan
dan memikirkan dia. Aku tidak tahan. Aku ingin dia tahu bahwa aku suka
padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk menyatakan cintaku kepadanya.
“Dharma, bisakah kamu main ke kos ku
sebentar malam?” tanyaku satu kali
“Oke, ntar pulang kerja aku ke situ,”
jawabnya.
Hatiku berbunga-bunga mendengar
jawabannya. Dan malam itu dia datang ke tempat kosku.
“Ada apa?!” tanyanya
“E…. ada yang mau aku omongin sama
kamu,” kataku
“Ya ngomong aja ……,” jawabnya
Aku terdiam. Mulutku terasa terkunci.
Aku tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Dharma. Kulihat Dharma duduk di atas tempat
tidur dan menungguku membuka mulut.
“Kenapa diam, katanya mau ngomong?”
tanyanya.
Sulit sekali bagiku untuk menyatakan
cintaku kepada Dharma. Bibirku terasa terkunci dan hatiku bergemuruh dengan rasa
cinta dan cemas. Setelah satu setengah jam berlalu akhirnya aku bisa membuka
mulutku.
“Dharma, aku suka kamu,” kataku
terbata-bata.
Sunyi…. tak ada jawaban …. lama sepi
dan kami masing-masing berada dalam dunia kami sendiri. Akhirnya kudengar juga
jawaban Dharma: ”aku bingung tapi sebenarnya aku juga merasakan kesepian kalau
kamu tidak ada di sampingku.” katanya.
“Jadi……. jadi …….?!” tanyaku dengan
deraian airmata. Dharma mengangguk. Kami berpelukan, kami berciuman, kami
melepas cinta yang selama ini terpendam. Sejak saat itu, aku sering ke
rumahnya. Ibunya sangat menerimaku bahkan meminta aku tinggal di rumahnya.
Akhirnya cintaku bersambut …..
“Rud, aku mendapat kerja di Singapur.
Mungkin ini suatu peluang besar bagiku. Aku akan pergi kesana,” kata Dharma
suatu kali.
“Lalu bagaimana dengan aku?” tanyaku
“Kamu cepet-cepet mencari pekerjaan
di Singapur sehingga kita bisa tinggal bersama di sana. Aku pasti akan
merindukanmu”
Dia berangkat ke Singapur dan aku
berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan di Singapur. Sampai lama aku
tidak mendapat pekerjaan di Singapur. Hatiku sepi. Dia jauh dan di kantorpun
aku tidak bisa melihat dia karena dia sudah pindah. Ruang-ruang kantor itu
menjadi tempat-tempat yang kosong di hatiku. Tiap malam, berjam-jam aku berdiri
didepan rumahnya, menatap kamarnya yang ada di atas dan menangis. Dharma,…… aku
merindukanmu.
Aku sering bertukar cerita dengan
ibunya dan aku sudah menganggap ibunya sebagai ibuku sendiri. Ibunya
mempersilahkan aku untuk makan di rumahnya untuk menghemat pengeluaran. Sampai
suatu kali, aku berbincang-bincang dengan ibunya:
“Tante, Dharma kerasan tidak ya di
sana?” tanyaku
“Sepertinya kerasan. Emang dia tidak
cerita kepadamu kalau kemarin dia jalan-jalan dengan kawan barunya namanya
Pur.” cerita ibunya.
“Kemarin?!” tanyaku kaget
“Iya, kemarin kan hari Sabtu dan dia
libur kalau Sabtu,” jawab ibunya
Hatiku merasa tidak enak. Malam
Minggu dia pergi dengan seorang bernama Pur, pasti dia sudah punya teman baru,
begitulah firasatku. Hatiku sakit… sakit sekali. Hatiku dibakar rasa cemburu
yang luar biasa. Aku pulang ke kosku, masuk ke kamarku dan menangis
sejadi-jadinya….. sendirian.
“Dharma kenapa engkau tega melakukan
demikian kepadaku?” jeritku
Hanya kesunyian yang menjawabku…….
Tak lama setelah itu, aku mendapat
pekerjaan di Singapur dan aku senang sekali. Aku segera memberi kabar pada
Dharma bahwa aku akan segera berangkat ke Singapur untuk bekerja di sana.
Kupikir dia akan bersorak gembira mendengar berita itu tapi kenyataannya,
jawabannya membuatku kecewa.
“O… kamu mendapat pekerjaan di Singapur.
Baguslah. Tapi coba pikirkan baik-baik apakah kamu benar-benar akan bekerja di
Singapur atau tidak,” jawabnya dengan nada datar.
“Kok kamu ngomong begitu?” tanyaku.
“Bukankah dulu kamu yang memintaku cepat-cepat ke Singapur dan kamu bilang
kangen sama aku,” sambungku.
“Ya datanglah tapi dipikir dulu,”
jawabnya.
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah
nama yang disebut oleh ibunya waktu itu. Pur ….. ya namanya Pur.
“kamu punya orang lain ya? Namanya
Pur kan?” tanyaku
“Kok kamu tahu?” tanyanya
“Ga ada yang kasih tahu aku tapi
hatiku mengatakan begitu,” kataku
Cinta memang buta. Aku tetap minta
keluar dari tempat kerjaku dan aku berangkat ke Singapur. Dan ternyata memang
dia sudah mempunyai pasangan lain. Aku menangis.
“Kamu tega, Dharma. Kamu tega sama
aku,” tangisku
“Udah ga usah seperti anak kecil. Di
sini kamu bisa googling kok, banyak yang dapat menjadi kawanmu,” jawabnya
Hatiku menangis………. “Kamu jahat! Kamu
begitu tega sama aku!” Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. “Tuhan mengapa aku
harus begini?” teriakku. Aku marah kepada Penciptaku. “Mengapa aku begini?
Mengapa aku diberi pencobaan seperti ini?” Walaupun aku punya tempat kerja di
Singapur tetapi aku tidak bisa bekerja dengan baik. Hatiku sakit dan aku ingin
pulang. Mungkin saat itu, orang yang melihatku seperti melihat mayat hidup
dengan tatapan mata yang kosong.
Saat itu aku hampir saja mengakhiri
hidupku. Dengan sisa kekuatanku, aku mencoba menelepon boss tempat aku terakhir
bekerja. Dia mengijinkan aku kembali bekerja di kantornya. Suatu berkat yang
luar biasa bagiku. Lalu aku berkemas pulang, kembali ke Jakarta, kembali ke
dalam kesunyianku. Kembali bekerja dengan wajah yang dingin dan hati yang
sakit.
Sejak saat itu, aku menjadi begitu
kecewa dan marah. Marah kepada Tuhan “Mengapa aku harus mengalami seperti ini?”
teriakku. Kalau disuruh memilih pasti tidak ada orang yang mau menjadi seperti
aku. Lalu aku datang ke seorang temanku. “Bawa aku ke diskotik!” kataku dengan
marah.
“Kamu mau apa?” tanya kawanku
“Aku ingin tahu kehidupan orang gay,”
jawabku
Akhirnya aku dibawa ke sana. Aku
melihat mereka berciuman sesama jenis, berpelukan tetapi aku tidak bisa menjadi
seperti mereka. Aku mencoba tapi aku tidak bisa melakukan apa yang mereka
lakukan. Aku tidak bisa masuk ke dalam dunia itu walaupun aku marah dan merana.
“Tuhan tidak adil!” teriakku. “Mengapa aku harus mengalami semua ini?” Saat itu
aku ingin sekali mengakhiri hidupku.
Hidup terus berjalan dan lambat laun
kemarahanku mulai reda. Aku mulai dapat melihat bagaimana Tuhan mengasihiku.
Biar aku berderai airmata tapi Dia tidak pernah membiarkan aku masuk dalam dunia
orang gay. Aku tidak bisa, seperti ada sesuatu yang menahanku. Walaupun
demikian hatiku berteriak: “Kenapa kami semua dibuat berbeda dan dicela? Apa
salah kami? Kami tidak mencuri, kami tidak membunuh, kami tidak menganiaya
orang lain. Tapi kenapa semua orang menghakimi dan mencaci maki kami? Kami juga
ingin hidup layaknya hidup orang lain yang normal. Bisa merasakan kasih sayang
dan cinta. Bisa menyayangi dan mencintai orang lain dan anak-anak, dan orang
lain juga bisa menyayangi dan mencintai kami walau dengan cara yang tidak
biasa.” Apakah itu salah?” “Tuhan, kenapa aku seperti ini?”
(Diceritakan kembali berdasarkan cerita langsung dari seorang sahabat)
*** Jeritan ini adalah jeritan yang tak bisa diteriakkan oleh mereka yang
mengalaminya. Hanya bisa diceritakan pada segelintir orang yang mungkin tidak
bisa mengertinya ***
~ Ree ~
No comments:
Post a Comment