Monday, July 7, 2014

"TUHAN, mengapa aku begini?"



(Jeritan kisah seorang gay)
 
“Mengapa aku harus begini? Mengapa aku tidak bisa menikmati hidup yang normal? Mengapa”? Itu menjadi jeritan hatiku setiap hari. Itu menjadi kemarahanku kepada Yang di Atas. Mengapa ….. mengapa…. mengapa? Apa salahku sehingga aku harus mengalami kelainan seperti ini?

“Praaaaang”!!!!! suara piring pecah
“Istri macam apa kamu?”
Paarr!!!!! Suara tamparan disusul dengan suara tangisan ibuku.
Hal seperti itu selalu kudengar hampir setiap hari.  Dari kecil aku mendengar kata-kata kotor dan makian dari ayahku yang dilontarkan kepada ibuku. Aku kasihan melihat ibuku menangis, tertekan dan kesakitan karena pukulan ayahku. Kadang aku harus melarikan adik perempuanku ke rumah nenek supaya ia tidak melihat perang “mahabaratha”di rumah kami. Setelah itu aku harus cepat-cepat kembali ke rumah untuk menjadi penengah di tengah-tengah peperangan antara ayah dan ibuku. Tidak jarang mereka perang mulut sambil memegang pisau. Sebagai seorang anak, aku takut….. sangat takut. Takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dari kecil aku tertekan dengan perlakuan ayahku. Aku lebih senang setiap kali ayahku tidak ada di rumah tetapi diam-diam kerinduanku akan sosok seorang ayah yang mengasihiku tumbuh dalam diriku. Ibuku seorang wanita yang baik tetapi karena ia selalu ditekan dan dilukai oleh ayahku, ia jadi sering menumpahkan kekesalan hatinya kepadaku dan kepada adikku. Kadang tanpa alasan kami kena makian dan pukulan juga oleh ibu. Rumah kami menjadi seperti neraka. Aku ingin lari, tapi lari kemana? Terlintas dalam hatiku untuk mati.

Sejak kecil aku tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah. Aku iri setiap kali aku melihat teman-temanku bepergian bersama ayah dan ibu mereka. Bagiku, sosok seorang ayah itu tak pernah ada, walaupun secara fisik aku mempunyai seorang ayah. Aku mendambakan seorang ayah, seorang ayah yang mengasihiku.

Hal itu terus berlanjut sampai aku menyadari bahwa sejak berumur tiga tahun, aku lebih tertarik kepada laki-laki dibandingkan kepada perempuan. Beranjak dewasa, ketertarikanku kepada laki-laki semakin kuat. Aku tidak pernah bisa mencintai perempuan. Aku mencintai laki-laki. Ya, aku menyadari bahwa aku seorang gay walaupun aku tidak mau menerima kenyataan itu. Sakit rasanya setiap kali aku mengingat bahwa aku bukan orang yang normal. Apa salahku? Mengapa aku harus seperti ini? Tuhan, aku tidak ingin menjadi seperti ini.

Aku tidak bisa menceritakan keabnormalanku kepada siapapun termasuk kepada ibuku. Aku tidak mau menambah penderitaanya. Semua kupendam sendiri… sendiri… dalam kesunyian hati yang kian menekan. Akhirnya aku berpikir bahwa aku harus mencari teman dan kegiatan sehingga aku tidak tersiksa oleh kesendirian dan kehampaan. Akhirnya aku bergabung dengan suatu komunitas dimana di situ aku bisa menyalurkan kegemaranku.

“Rudi….” kulihat kawanku di komunitas itu, Andini namanya, mendekatiku
“Ada apa?” tanyaku
“Rud, ada yang ingin kuceritakan kepadamu,” katanya. “Yuk, kita duduk di pojok kantin.”
Aku pergi mengikuti Andini, pesan kopi dan singkong rebus duduk di pojok kantin.
“Ada apa, serius amat?” tanyaku.
“Tahu ga kamu, si Anita suka sama kamu… dia bilang ke aku.” cerita Dini
Glek, kopi yang baru kuseruput dengan cepat tertelan. Waduh, bagaimana ini? Seorang wanita mencintaiku…. Gawat!!!!
“Eh, kok malah keselek sih. Kamu suka ga sama dia?” tanya Dini lagi setengah mendesak
“Aku belum pernah memikirkan hal itu,” jawabku sekenanya
“Jadi kamu ga suka sama dia?” tanya Dini lagi.
“Engga…..”, jawabku dengan gugup.

Sejak saat itu, Dini sering mengajakku berbicara dan ia dengan antusias menceritakan cinta Anita kepadaku. Apapun yang diceritakan Anita kepadanya, diceritakannya kepadaku.
“Engga…..”, jawabku.
Makin lama aku makin gugup setiap kali Dini menceritakan soal Anita kepadaku. Aku tidak mau orang tahu bahwa aku seorang gay. Bahwa aku tidak bisa mencintai wanita. Sampai suatu kali ….

“Rud, bener kamu tidak mencintai Anita?” tanya Dini
“Engga,” jawabku
Dini diam ….. tertunduk
“Kenapa,” tanyaku
Lama Dini baru tengadah dan berkata: “Sebenarnya aku juga suka kamu. Apa kamu suka padaku?”
Bagai disambar geledek di tengah hari bolong aku menjadi seperti orang linglung.
“Apa?!” teriakku
“Iya, aku suka kamu dan aku rasa kita selama ini cocok.” jawab Dini berharap aku mengiyakan.
Keringat dingin membasahi tubuhku. Aku tidak mempunyai keberanian mengatakan kepada Dini bahwa aku seorang gay.
“Aku tidak mau membicarakan soal begituan,” jawabku
“Jadi?” tanya Dini menatapku
Kuberanikan diri untuk menatap matanya. Aku tahu ada cinta di situ. Lambat aku berkata kepadanya: “aku tidak bisa, Dini. Kuharap kamu tidak membicarakan hal itu lagi.”
Tiba-tiba Dini lari meninggalkanku sambal menangis. Aku merasa bersalah telah membuat Dini menangis. Pasti ia kecewa dan sakit hati. Tapi apa boleh buat, aku memang tidak bisa mencintai perempuan. Tidak ada sedikitpun ketertarikanku kepada yang disebut kaum hawa itu.

Dini menjauhiku. Anita pun menjauhiku. Aku mulai tidak nyaman dengan keadaan dalam komunitas itu. Dan ternyata ketidak nyamananku belum berakhir.
“Rudiiiiiii……..,” seorang wanita memanggilku
“Boleh aku pulang bersamamu?” katanya dengan manja.
Gadis cantik itu berdiri di depanku menunggu jawabanku.
“Kan rumah kita berlawanan arah,” jawabku
“Kamu kan bisa antar aku pulang dulu,” katanya dengan nada yang masih manja seperti tadi.
“Kenapa aku harus mengantarmu? Biasanya juga kamu pulang sendiri,” jawabku
Tiba-tiba mata gadis cantik itu berkaca-kaca dan berkata:”kamu tidak punya hati, Rudi. Tidak punya perasaan. Kamu kasar……”, lalu ia beranjak pergi.

Aku bingung. Aku menangis. Seandainya saja aku bisa, aku pasti memilih satu diantara kalian. “Mengapa aku mesti begini, Tuhan?” rintihku dalam hati.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari komunitas tersebut dan kembali pada duniaku yang sepi. Setiap pulang kerja, aku langsung pulang ke tempat kosku dan menyendiri. Sampai akhirnya aku mengenal seorang rekan kerja yang memenuhi kriteriaku. Aku suka dia. Sebut saja namanya Hans. Aku berusaha mendekatinya dengan berperilaku sebagai seorang laki-laki. Aku tidak mau dia mengetahui siapa aku sebenarnya karena aku takut kalau dia mengetahuinya, nantinya dia akan meninggalkanku.  Jadi kami berkawan dekat selayaknya rekan kerja. Aku senang bisa dekat dengan dia walaupun aku sadar tidak mungkin aku bisa memilikinya karena dia laki-laki normal, sedangkan aku tidak.

Suatu hari kami mengadakan tour bersama dengan teman-teman sekantor. Aku senang sekali membayangkan bahwa aku bisa bersama dia paling tidak tiga hari dan dua malam. Aku bisa lebih dekat melihat kehidupannya dan setidaknya aku bisa terus bersamanya selama tour itu.
“Selamat pagi……,” sapaku pada teman-temanku
Lalu aku mendekati Hans dengan hati berbunga-bunga. Kudekati dia dan kupegang bahunya dengan ringan. Tetapi yang terjadi di luar dugaanku. Hans menepiskan tanganku dari bahunya dan berteriak dengan suara keras di depan kawan-kawan kerjaku yang lain:”Rudi, kamu homo ya?”
Clep, hatiku seperti ditusuk benda tajam. Mukaku merah padam. Hatiku sakit sekali. Apa yang selama ini kupendam sendirian sekarang diumumkan di depan khalayak ramai. Aku pingin menangis, tapi aku tidak siap mengakuinya di depan orang banyak seperti ini. Apalagi orang yang mengatakannya adalah orang yang selama ini aku kasihi dengan sepenuh hatiku. Tapi aku berusaha menenangkan hatiku dan kutatap matanya. “Kalau aku homo, terus kenapa?” kataku.
Setelah itu kutinggalkan semua dan aku pulang kembali ke kosku, ke duniaku yang sepi. Di situ aku menangis sejadi-jadinya. Hatiku sakit. “Tuhan, mengapa aku harus seperti ini?” rintihku. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kantor itu.

Setelah kejadian itu, aku berusaha mencari pekerjaan karena ayahku sudah meninggal dunia dan aku harus menanggung hidup ibuku dan adik perempuanku. Setelah tiga bulan aku tidak mendapat pekerjaan, akhirnya aku mendapat satu pekerjaan juga. Di situ aku berkenalan dengan seorang pria macho bernama Dharma. Aku menjadi dekat dengan dia dan kami sering menghabiskan waktu bersama-sama. Apalagi tempat kos ku tidak jauh letaknya dari rumahnya sehingga kami sering pulang kerja bersama-sama. Aku tergila-gila padanya. Inilah pria idamanku. Siang malam aku selalu merindukan dan memikirkan dia. Aku tidak tahan. Aku ingin dia tahu bahwa aku suka padanya. Akhirnya aku memutuskan untuk menyatakan cintaku kepadanya.
“Dharma, bisakah kamu main ke kos ku sebentar malam?” tanyaku satu kali
“Oke, ntar pulang kerja aku ke situ,” jawabnya.
Hatiku berbunga-bunga mendengar jawabannya. Dan malam itu dia datang ke tempat kosku.
“Ada apa?!” tanyanya
“E…. ada yang mau aku omongin sama kamu,” kataku
“Ya ngomong aja ……,” jawabnya
Aku terdiam. Mulutku terasa terkunci. Aku tidak bisa mengatakan apa-apa kepada Dharma. Kulihat Dharma duduk di atas tempat tidur dan menungguku membuka mulut.
“Kenapa diam, katanya mau ngomong?” tanyanya.
Sulit sekali bagiku untuk menyatakan cintaku kepada Dharma. Bibirku terasa terkunci dan hatiku bergemuruh dengan rasa cinta dan cemas. Setelah satu setengah jam berlalu akhirnya aku bisa membuka mulutku.
“Dharma, aku suka kamu,” kataku terbata-bata.
Sunyi…. tak ada jawaban …. lama sepi dan kami masing-masing berada dalam dunia kami sendiri. Akhirnya kudengar juga jawaban Dharma: ”aku bingung tapi sebenarnya aku juga merasakan kesepian kalau kamu tidak ada di sampingku.” katanya.
“Jadi……. jadi …….?!” tanyaku dengan deraian airmata. Dharma mengangguk. Kami berpelukan, kami berciuman, kami melepas cinta yang selama ini terpendam. Sejak saat itu, aku sering ke rumahnya. Ibunya sangat menerimaku bahkan meminta aku tinggal di rumahnya. Akhirnya cintaku bersambut …..

“Rud, aku mendapat kerja di Singapur. Mungkin ini suatu peluang besar bagiku. Aku akan pergi kesana,” kata Dharma suatu kali.
“Lalu bagaimana dengan aku?” tanyaku
“Kamu cepet-cepet mencari pekerjaan di Singapur sehingga kita bisa tinggal bersama di sana. Aku pasti akan merindukanmu”
Dia berangkat ke Singapur dan aku berusaha sekuat tenaga untuk mencari pekerjaan di Singapur. Sampai lama aku tidak mendapat pekerjaan di Singapur. Hatiku sepi. Dia jauh dan di kantorpun aku tidak bisa melihat dia karena dia sudah pindah. Ruang-ruang kantor itu menjadi tempat-tempat yang kosong di hatiku. Tiap malam, berjam-jam aku berdiri didepan rumahnya, menatap kamarnya yang ada di atas dan menangis. Dharma,…… aku merindukanmu.

Aku sering bertukar cerita dengan ibunya dan aku sudah menganggap ibunya sebagai ibuku sendiri. Ibunya mempersilahkan aku untuk makan di rumahnya untuk menghemat pengeluaran. Sampai suatu kali, aku berbincang-bincang dengan ibunya:
“Tante, Dharma kerasan tidak ya di sana?” tanyaku
“Sepertinya kerasan. Emang dia tidak cerita kepadamu kalau kemarin dia jalan-jalan dengan kawan barunya namanya Pur.” cerita ibunya.
“Kemarin?!” tanyaku kaget
“Iya, kemarin kan hari Sabtu dan dia libur kalau Sabtu,” jawab ibunya
Hatiku merasa tidak enak. Malam Minggu dia pergi dengan seorang bernama Pur, pasti dia sudah punya teman baru, begitulah firasatku. Hatiku sakit… sakit sekali. Hatiku dibakar rasa cemburu yang luar biasa. Aku pulang ke kosku, masuk ke kamarku dan menangis sejadi-jadinya….. sendirian.
“Dharma kenapa engkau tega melakukan demikian kepadaku?” jeritku
Hanya kesunyian yang menjawabku…….

Tak lama setelah itu, aku mendapat pekerjaan di Singapur dan aku senang sekali. Aku segera memberi kabar pada Dharma bahwa aku akan segera berangkat ke Singapur untuk bekerja di sana. Kupikir dia akan bersorak gembira mendengar berita itu tapi kenyataannya, jawabannya membuatku kecewa.
“O… kamu mendapat pekerjaan di Singapur. Baguslah. Tapi coba pikirkan baik-baik apakah kamu benar-benar akan bekerja di Singapur atau tidak,” jawabnya dengan nada datar.
“Kok kamu ngomong begitu?” tanyaku. “Bukankah dulu kamu yang memintaku cepat-cepat ke Singapur dan kamu bilang kangen sama aku,” sambungku.
“Ya datanglah tapi dipikir dulu,” jawabnya.
Tiba-tiba aku teringat pada sebuah nama yang disebut oleh ibunya waktu itu. Pur ….. ya namanya Pur.
“kamu punya orang lain ya? Namanya Pur kan?” tanyaku
“Kok kamu tahu?” tanyanya
“Ga ada yang kasih tahu aku tapi hatiku mengatakan begitu,” kataku

Cinta memang buta. Aku tetap minta keluar dari tempat kerjaku dan aku berangkat ke Singapur. Dan ternyata memang dia sudah mempunyai pasangan lain. Aku menangis.
“Kamu tega, Dharma. Kamu tega sama aku,” tangisku
“Udah ga usah seperti anak kecil. Di sini kamu bisa googling kok, banyak yang dapat menjadi kawanmu,” jawabnya
Hatiku menangis………. “Kamu jahat! Kamu begitu tega sama aku!” Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. “Tuhan mengapa aku harus begini?” teriakku. Aku marah kepada Penciptaku. “Mengapa aku begini? Mengapa aku diberi pencobaan seperti ini?” Walaupun aku punya tempat kerja di Singapur tetapi aku tidak bisa bekerja dengan baik. Hatiku sakit dan aku ingin pulang. Mungkin saat itu, orang yang melihatku seperti melihat mayat hidup dengan tatapan mata yang kosong.

Saat itu aku hampir saja mengakhiri hidupku. Dengan sisa kekuatanku, aku mencoba menelepon boss tempat aku terakhir bekerja. Dia mengijinkan aku kembali bekerja di kantornya. Suatu berkat yang luar biasa bagiku. Lalu aku berkemas pulang, kembali ke Jakarta, kembali ke dalam kesunyianku. Kembali bekerja dengan wajah yang dingin dan hati yang sakit.

Sejak saat itu, aku menjadi begitu kecewa dan marah. Marah kepada Tuhan “Mengapa aku harus mengalami seperti ini?” teriakku. Kalau disuruh memilih pasti tidak ada orang yang mau menjadi seperti aku. Lalu aku datang ke seorang temanku. “Bawa aku ke diskotik!” kataku dengan marah.
“Kamu mau apa?” tanya kawanku
“Aku ingin tahu kehidupan orang gay,” jawabku
Akhirnya aku dibawa ke sana. Aku melihat mereka berciuman sesama jenis, berpelukan tetapi aku tidak bisa menjadi seperti mereka. Aku mencoba tapi aku tidak bisa melakukan apa yang mereka lakukan. Aku tidak bisa masuk ke dalam dunia itu walaupun aku marah dan merana. “Tuhan tidak adil!” teriakku. “Mengapa aku harus mengalami semua ini?” Saat itu aku ingin sekali mengakhiri hidupku.

Hidup terus berjalan dan lambat laun kemarahanku mulai reda. Aku mulai dapat melihat bagaimana Tuhan mengasihiku. Biar aku berderai airmata tapi Dia tidak pernah membiarkan aku masuk dalam dunia orang gay. Aku tidak bisa, seperti ada sesuatu yang menahanku. Walaupun demikian hatiku berteriak: “Kenapa kami semua dibuat berbeda dan dicela? Apa salah kami? Kami tidak mencuri, kami tidak membunuh, kami tidak menganiaya orang lain. Tapi kenapa semua orang menghakimi dan mencaci maki kami? Kami juga ingin hidup layaknya hidup orang lain yang normal. Bisa merasakan kasih sayang dan cinta. Bisa menyayangi dan mencintai orang lain dan anak-anak, dan orang lain juga bisa menyayangi dan mencintai kami walau dengan cara yang tidak biasa.” Apakah itu salah?” “Tuhan, kenapa aku seperti ini?”


(Diceritakan kembali berdasarkan cerita langsung dari seorang sahabat)
*** Jeritan ini adalah jeritan yang tak bisa diteriakkan oleh mereka yang mengalaminya. Hanya bisa diceritakan pada segelintir orang yang mungkin tidak bisa mengertinya ***


~ Ree ~

No comments:

Post a Comment