“Kemana, bu?”
tanya Salman sopir ojek yang sedang mangkal di depan kantorku. Beberapa kali
aku ngojek dengan dia saat pulang kerja.
“Biasa, seperti
kemarin ke mall DD,” jawabku
“Siap,bu. Ibu
selalu ke mall ya?” tanyanya
“Hampir
selalu, menunggu kemacetan berlalu,” jawabku
“Iya ya bu,
kalau jam segini pasti macet sekali. Ibu benar, lebih baik menunggu agak malam,”
sahutnya
“Enak ya,
ibu bisa tiap hari nongkrong di mall, ada duit sih bu,” sambungnya lagi.
“Saya hanya nongkrong
di suatu tempat, beli minum sambil kerja. Kadang makan malam juga di situ,”
jawabku
“Ibu bekerja
juga di mall?” tanyanya
“Ya iya,
daripada harus jalan-jalan dan belanja-belanja, tekor dah,” jawabku
“Ya tak
apalah bu, kan gajinya besar,” sahutnya lagi.
“Ga terlalu
besar tapi cukup,” jawabku.
“Daripada
saya, bu, kerja setengah mati hasilnya selalu pas-pas an,” katanya.
“Tiap orang
itu punya rejekinya sendiri, pak, itu pasti paling baik bagi kita,” jawabku
“Ibu belum
pernah sih merasakan jadi orang yang tidak punya duit. Sengsara dan sedih bu.
Saya bersyukur sih bu, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menyenangkan keluarga.
Hal itu membuat saya sedih,” jawabnya.
Tiba-tiba
kurasakan tetesan air membasahi tanganku. Hujan turun dengan cepat menjadi
lebat.
“Wah hujan,
bagaimana ini bu?” tanyanya
“Sangat
lebat, kita berhenti dulu saja di halte terdekat,” jawabku
Dia memarkir
motornya di halte terdekat sambil menunggu hujan reda. Tetes-tetes hujan
disertai angina kencang membuat pikiranku melamunkan kehidupan Salman sebagai sopir
ojek. Kasihan juga ya kalau setiap hari di musim penghujan begini dia harus
menembus angina dan hujan demi memberi nafkah hidup bagi keluarganya.
“Bu, ibu
punya HP bekas tidak, yang sudah tidak dipakai?” tanyanya
“Hm,
sepertinya ada,” jawabku
“Boleh saya
minta?” tanyanya lagi
“Boleh, tapi
rusak parah dan sudah sangat tua,” jawabku
“Tidak apa,
bu, saudara saya tukang reparasi HP. Siapa tahu masih bisa diperbaiki,”
jawabnya
“Buat apa
sih?” tanyaku
“Anak saya
minta HP, tapi saya tidak bisa membeli HP baru bahkan HP bekaspun tidak bisa.
Saya ingin memberikan HP di hari ulang tahunnya bulan depan. Dia sangat
menginginkannya dan juga membutuhkannya,” jawabnya.
“Oh! Anak
bapak berapa?” tanyaku
“Tiga orang,
bu.” Jawabnya. “Yang paling tua kelas sepuluh dan paling kecil masih SD,”
jawabnya
“Laki-laki
atau perempuan?” tanyaku lagi
“Yang
pertama dan kedua laki-laki, yang kecil perempuan, bu,” jawabnya
Kulihat
matanya menerawang dan berkaca-kaca. Mungkin dia sedang mengingat dan memikirkan
keluarganya saat ini.
“Isteri
bapak tidak bekerja?” tanyaku
“Bekerja
sebagai tukang cuci dan gosok pakaian di pagi hari, setelah itu pulang ngurus
rumah. Saya tidak mengijinkan dia bekerja lebih dari jam dua belas siang,”
jawabnya
“Mengapa?”
tanyaku
“Biar
anak-anak ada yang mengontrol. Takut mereka salah gaul, bu,” jawabnya
‘Hebat juga pak Salman ini,’ pikirku. ‘Walaupun hidupnya sangat sederhana tapi dia
cukup memikirkan anak-anaknya,’
“Wah, bapak
luar biasa. Bapak adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat peduli dengan
keluarga bapak,” kataku.
“Semua bapak
pasti memikirkan anaknya, bu. Pasti ingin anaknya bisa sekolah dan nasipnya
lebih baik dari bapaknya,” sahutnya
Aku
manggut-manggut mendengar penuturannya.
“Anak saya
juga bekerja, bu kalau sore,” ceritanya lagi
“Kerja
sebagai apa?” tanyaku
“Kalau sore
begini dan hujan dia menjadi ojek payung. Kalau musim kemarau jadi tukang parkir.
Ganti-ganti bu, apa yang ada dikerjakannya. Lumayan bisa untuk beli buku
sekolah. Sekarang buku kan mahal, bu,” jawabnya
“Kalau hujan
begini dan ia menjadi ojek payung kan kasihan pak, bisa sakit,” kataku
“Sudah
biasa, bu. Beginilah hidupnya orang susah,” jawabnya.
“Jam berapa
sekarang, bu?” tanyanya tiba-tiba
“Kenapa?”
tanyaku
“Saya janji
untuk makan malam di rumah jam enam,” jawabnya
“Oh, kalau
begitu saya bayar saja dulu dan saya akan mencari ojek yang lain,” jawabku
sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan kepadanya.
“Wah, saya
tidak punya kembalian,bu,” katanya
“Tidak apa,
ambil saja untuk jajan,” jawabku
Trenyuh juga
aku mendengar ceritanya. Sementara ada orang-orang yang setengah mati berjuang
untuk hidup, ada juga kelompok orang yang hampir tiap minggu berpesta, membeli
barang-barang mewah, naik pesawat bak naik becak. Apakah mereka mengetahui ada
orang-orang yang hidup seperti pak Salman ini? Seandainya mereka tahu, apakah
mereka peduli? Kehidupan yang njomplang.
“Bener bu,
ini buat saya?” tanya pak Salman mengagetkan aku.
“Iya buat
bapak,” sahutku.
“Terima
kasih bu, terima kasih. Akhirnya hari ini saya bisa membelikan hadiah ulang
tahun pernikahan kami untuk isteri saya, terima kasih sekali bu,” jawabnya
sambil menutupkan telapak tangan ke mukanya tanda rasa syukur.
“Oh, ini hari
ulang tahun pernikahan bapak? Selamat ya,” kataku.
“Iya bu,
hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami dan saya sudah berjanji akan
pulang sebelum jam enam sambil membawa kado,” jawabnya
Aku menatap
bola matanya yang berkaca-kaca.
“Masih
hujan, pak, pasti isteri bapak bisa mengerti kalau bapak datang terlambat.
Nanti bapak sakit kena hujan dan angin seperti ini,” kataku
“Tidak bu,
saya akan cari kado buat isteri saya terus langsung pulang,” jawabnya. “Terima
kasih ya bu.”
“Mau beli apa
untuk isteri bapak?” tanyaku penasaran
“Beli
mendoan, bu,” jawabnya dengan semringah
Senyumku
jadi akan pudar karena bingung setengah terperangah. Aku tak menduga akan mendengar jawaban seperti itu.
“Apa pak,
kadonya? tanyaku lagi.
“Mendoan,
bu?” jawabnya lagi
“Mendoan?
Kenapa mendoan?” tanyaku
“Isteri saya
sangat suka mendoan dan hanya itu yang bisa saya berikan kepadanya,” jawabnya
Aku terdiam.
Mendoan?! Aku tak pernah berpikir memberikan kado mendoan kepada siapapun. Tapi
ternyata bagi pak Salman, mendoan itu sangat berarti sebagai kado untuk
isterinya.
“Saya pergi
dulu bu. Sekali lagi terima kasih banyak,” katanya
Pak Salman
segera naik ke motornya dengan jaketnya yang basah menembus hujan yang tinggal
rintik-rintik.
“O ya bu,
satu lagi mengapa saya membeli mendoan. Saya dan isteri saya bertemu saat kami
sama-sama membeli mendoan di pasar,” katanya sambil menganggukkan kepadaku dan
berlalu.
Aku
termangu-mangu memandang lukisan keluarga yang mengasihi dengan kasih yang
sederhana di dalam tiap rintik air hujan. Pelajaran yang luar biasa. Satu
kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang biasa kulihat.
Kukeluarkan
HP ku dari dalam tasku dan kutekan no telpon taxi langgananku. Sementara hujan
mulai reda.
No comments:
Post a Comment