Monday, July 25, 2016

MENDOAN UNTUK ISTERIKU


“Kemana, bu?” tanya Salman sopir ojek yang sedang mangkal di depan kantorku. Beberapa kali aku ngojek dengan dia saat pulang kerja.

“Biasa, seperti kemarin ke mall DD,” jawabku

“Siap,bu. Ibu selalu ke mall ya?” tanyanya

“Hampir selalu, menunggu kemacetan berlalu,” jawabku

“Iya ya bu, kalau jam segini pasti macet sekali. Ibu benar, lebih baik menunggu agak malam,” sahutnya
“Enak ya, ibu bisa tiap hari nongkrong di mall, ada duit sih bu,” sambungnya lagi.

“Saya hanya nongkrong di suatu tempat, beli minum sambil kerja. Kadang makan malam juga di situ,” jawabku

“Ibu bekerja juga di mall?” tanyanya

“Ya iya, daripada harus jalan-jalan dan belanja-belanja, tekor dah,” jawabku

“Ya tak apalah bu, kan gajinya besar,” sahutnya lagi.

“Ga terlalu besar tapi cukup,” jawabku.

“Daripada saya, bu, kerja setengah mati hasilnya selalu pas-pas an,” katanya.

“Tiap orang itu punya rejekinya sendiri, pak, itu pasti paling baik bagi kita,” jawabku

“Ibu belum pernah sih merasakan jadi orang yang tidak punya duit. Sengsara dan sedih bu. Saya bersyukur sih bu, tapi kadang-kadang saya tidak bisa menyenangkan keluarga. Hal itu membuat saya sedih,” jawabnya.


Tiba-tiba kurasakan tetesan air membasahi tanganku. Hujan turun dengan cepat menjadi lebat.


“Wah hujan, bagaimana ini bu?” tanyanya

“Sangat lebat, kita berhenti dulu saja di halte terdekat,” jawabku


Dia memarkir motornya di halte terdekat sambil menunggu hujan reda. Tetes-tetes hujan disertai angina kencang membuat pikiranku melamunkan kehidupan Salman sebagai sopir ojek. Kasihan juga ya kalau setiap hari di musim penghujan begini dia harus menembus angina dan hujan demi memberi nafkah hidup bagi keluarganya.

“Bu, ibu punya HP bekas tidak, yang sudah tidak dipakai?” tanyanya

“Hm, sepertinya ada,” jawabku

“Boleh saya minta?” tanyanya lagi

“Boleh, tapi rusak parah dan sudah sangat tua,” jawabku

“Tidak apa, bu, saudara saya tukang reparasi HP. Siapa tahu masih bisa diperbaiki,” jawabnya

“Buat apa sih?” tanyaku

“Anak saya minta HP, tapi saya tidak bisa membeli HP baru bahkan HP bekaspun tidak bisa. Saya ingin memberikan HP di hari ulang tahunnya bulan depan. Dia sangat menginginkannya dan juga membutuhkannya,” jawabnya.

“Oh! Anak bapak berapa?” tanyaku

“Tiga orang, bu.” Jawabnya. “Yang paling tua kelas sepuluh dan paling kecil masih SD,” jawabnya

“Laki-laki atau perempuan?” tanyaku lagi

“Yang pertama dan kedua laki-laki, yang kecil perempuan, bu,” jawabnya


Kulihat matanya menerawang dan berkaca-kaca. Mungkin dia sedang mengingat dan memikirkan keluarganya saat ini.


“Isteri bapak tidak bekerja?” tanyaku

“Bekerja sebagai tukang cuci dan gosok pakaian di pagi hari, setelah itu pulang ngurus rumah. Saya tidak mengijinkan dia bekerja lebih dari jam dua belas siang,” jawabnya

“Mengapa?” tanyaku

“Biar anak-anak ada yang mengontrol. Takut mereka salah gaul, bu,” jawabnya


Hebat juga pak Salman ini,’ pikirku. ‘Walaupun hidupnya sangat sederhana tapi dia cukup memikirkan anak-anaknya,’

“Wah, bapak luar biasa. Bapak adalah seorang kepala rumah tangga yang sangat peduli dengan keluarga bapak,” kataku.

“Semua bapak pasti memikirkan anaknya, bu. Pasti ingin anaknya bisa sekolah dan nasipnya lebih baik dari bapaknya,” sahutnya


Aku manggut-manggut mendengar penuturannya.


“Anak saya juga bekerja, bu kalau sore,” ceritanya lagi

“Kerja sebagai apa?” tanyaku

“Kalau sore begini dan hujan dia menjadi ojek payung. Kalau musim kemarau jadi tukang parkir. Ganti-ganti bu, apa yang ada dikerjakannya. Lumayan bisa untuk beli buku sekolah. Sekarang buku kan mahal, bu,” jawabnya

“Kalau hujan begini dan ia menjadi ojek payung kan kasihan pak, bisa sakit,” kataku

“Sudah biasa, bu. Beginilah hidupnya orang susah,” jawabnya.
“Jam berapa sekarang, bu?” tanyanya tiba-tiba

“Kenapa?” tanyaku

“Saya janji untuk makan malam di rumah jam enam,” jawabnya

“Oh, kalau begitu saya bayar saja dulu dan saya akan mencari ojek yang lain,” jawabku sambil mengeluarkan uang lima puluh ribu dan memberikan kepadanya.

“Wah, saya tidak punya kembalian,bu,” katanya

“Tidak apa, ambil saja untuk jajan,” jawabku


Trenyuh juga aku mendengar ceritanya. Sementara ada orang-orang yang setengah mati berjuang untuk hidup, ada juga kelompok orang yang hampir tiap minggu berpesta, membeli barang-barang mewah, naik pesawat bak naik becak. Apakah mereka mengetahui ada orang-orang yang hidup seperti pak Salman ini? Seandainya mereka tahu, apakah mereka peduli? Kehidupan yang njomplang.


“Bener bu, ini buat saya?” tanya pak Salman mengagetkan aku.

“Iya buat bapak,” sahutku.

“Terima kasih bu, terima kasih. Akhirnya hari ini saya bisa membelikan hadiah ulang tahun pernikahan kami untuk isteri saya, terima kasih sekali bu,” jawabnya sambil menutupkan telapak tangan ke mukanya tanda rasa syukur.

“Oh, ini hari ulang tahun pernikahan bapak? Selamat ya,” kataku.

“Iya bu, hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kami dan saya sudah berjanji akan pulang sebelum jam enam sambil membawa kado,” jawabnya

Aku menatap bola matanya yang berkaca-kaca.

“Masih hujan, pak, pasti isteri bapak bisa mengerti kalau bapak datang terlambat. Nanti bapak sakit kena hujan dan angin seperti ini,” kataku

“Tidak bu, saya akan cari kado buat isteri saya terus langsung pulang,” jawabnya. “Terima kasih ya bu.”

“Mau beli apa untuk isteri bapak?” tanyaku penasaran

“Beli mendoan, bu,” jawabnya dengan semringah


Senyumku jadi akan pudar karena bingung setengah terperangah. Aku tak  menduga akan mendengar jawaban seperti itu.


“Apa pak, kadonya? tanyaku lagi.

“Mendoan, bu?” jawabnya lagi

“Mendoan? Kenapa mendoan?” tanyaku

“Isteri saya sangat suka mendoan dan hanya itu yang bisa saya berikan kepadanya,” jawabnya


Aku terdiam. Mendoan?! Aku tak pernah berpikir memberikan kado mendoan kepada siapapun. Tapi ternyata bagi pak Salman, mendoan itu sangat berarti sebagai kado untuk isterinya.


“Saya pergi dulu bu. Sekali lagi terima kasih banyak,” katanya

Pak Salman segera naik ke motornya dengan jaketnya yang basah menembus hujan yang tinggal rintik-rintik.

“O ya bu, satu lagi mengapa saya membeli mendoan. Saya dan isteri saya bertemu saat kami sama-sama membeli mendoan di pasar,” katanya sambil menganggukkan kepadaku dan berlalu.


Aku termangu-mangu memandang lukisan keluarga yang mengasihi dengan kasih yang sederhana di dalam tiap rintik air hujan. Pelajaran yang luar biasa. Satu kehidupan yang berbeda dengan kehidupan yang biasa kulihat.


Kukeluarkan HP ku dari dalam tasku dan kutekan no telpon taxi langgananku. Sementara hujan mulai reda.



                                                                            ooooo0ooooo

No comments:

Post a Comment