Monday, July 25, 2016

MENTARI SENJA


Sudah  genap satu tahun aku tinggal di Panti Jompo ini. Anakku satu-satunya tinggal di luar negeri dan tidak setahun sekali ia bisa mengunjungiku. Keponakan-keponakankulah yang merawat aku. Sebelum aku tinggal di panti jompo ini, aku tinggal sendiri di suatu rumah kecil di sebuah gang kecil. Aku cukup nyaman tinggal sendirian di situ. Setiap tiga hari sekali, kakak laki-lakiku selalu datang membawa segala keperluanku seperti telur,sayur, tahu,tempe dan sebagainya. Dengan bahan-bahan itu aku bisa memasak dan mencukupi kebutuhanku sehari-hari.

Di suatu senja, aku duduk di teras rumahku menikmati mentari senja. Alam seperti berwarna kekuningan membri tanda bahwa matahari sudah akan tenggelam.
“Waktu kita masih anak-anak, di saat matahari senja datang, kita pasti duduk bersama di halaman rumah sambil makan nasi dan ikan bandeng,” cerita kakakku
Lalu lamunan kamipun kembali mengingat masa-masa itu. Bersama bapak dan ibu kami menikmati udara pegunungan dan matahari senja yang segera tenggelam. Setelah matahari terbenam bapak menyalakan petromax dan kami duduk di ruang tangah rumah kami yang mungil sambil mengerjakan pekerjaan kami masing-masing. Ibu menjahit, bapak tidur di atas dipan kayu dan aku serta kakak asyik bermain atau membaca. Tidak ada hiburan lain, selain tontonan layar tancap yang tidak selalu ada. Walau demikian, kami bahagia.
“Matahari senja saat itu sudah tenggelam,” kata kakakku kemudian. “Bapak dan ibu sudah lama tiada,” sambung kakakku.
“Iya, aku merindukan saat-saat seperti itu, saat matahari senja di desa, sangat indah,” jawabku.
Tiba-tiba kakakku memandang kepadaku.
“Sekarang kita menikmati matahari senja dan kita tidak dapat menahan kalau matahari itu akan terbenam,” katanya.
“Maksudmu?” tanyaku
“Iya, satu kali matahari senja itu pasti akan terbenam. Kita sudah tua. Sudah di atas tujuh puluh tahun. Tak lama lagi matahari senja itu akan tenggelam,” jawab kakakku.
Aku merasakan hal yang tidak enak dengan pembicaraan dengan kakakku sore itu walaupun aku tidak bisa menyangkali kebenarannya.
“Jangan ngomong ngelantur,” kataku. “Tuhanlah yang mengatur kapan matahari senja itu akan tenggelam,” sambungku.
“Iya, tapi kita harus bersiap-siap, kalau-kalau matahari itu segera akan tenggelam,” jawabnya.

Kulihat hari sudah gelap. Lampu di ujung gang tempat aku tinggal sudah dinyalakan. Kakakku berdiri mengambil sepeda tuanya yang diparkir di tepi pagar.
“Aku harus pulang, hari sudah mulai malam. Hari Rabu aku akan datang lagi,” katanya.
Lalu ia mengayuh sepedanya pelan, pulang ke rumahnya.

Pagi itu …..
“Tante! Tante…!!! Buka pintunya.” Kudengar suara ponakanku sambil menggedor pintu rumah. Kulihat jam dinding tua yang bertengger di dinding kamarku. Jam lima lewat dua puluh menit.
Aku segera membuka pintu dan ponakanku segera merangkulku dan membawaku duduk.
“Tante sekarang ganti baju ya,” katanya
“Kenapa, kita mau kemana?” tanyaku
“Ke rumah sakit,” jawab ponakanku
“Siapa yang sakit?” tanyaku
Tiba-tiba ponakanku menangis keras sambil memelukku.
“Siapa yang sakit?” tanyaku lagi
“Om……. Om…….. sudah pergi semalam. Ia mengalami serangan jantung,” jawabnya sambil terisak-isak.
“Apa? Om?” tanyaku tidak percaya
Keponakanku mengangguk, memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

Kakiku gemetar. Baru semalam kami berbincang-bincang dan bercerita tentang mentari senja yang akan segera terbenam. Siapa menduga bahwa mentari senjanya kini telah tenggelam dan tidak akan terbit lagi.

Sejak kepergian kakakku, aku merasa tidak sanggup lagi mengurus diriku sendiri. Kakiku sudah terasa sakit untuk menyapu, pinggangku tidak kuat lagi untuk mencuci. Akhirnya aku memutuskan untuk tinggal di panti jompo ini. Panti ini cukup indah. Aku mempunyai sebuah kamar sendiri. Seorang suster setiap kali menengok keadaanku. Teman-teman sesama manulapun sering berkumpul atau dikumpulkan untuk membuat acara bersama. Aku cukup menikmatinya.

Diantara segala kegiatan di panti jompo itu, ada satu hal yang selalu kunantikan kedatangannya. Setiap Minggu sore, seorang pemuda selalu datang membawakan buah atau makanan kesukaanku yang lain. Dia sering mengajakku berdoa dan menceritakan tentang kebaikan Tuhan. Kedatangannya betul-betul sangat menghiburku dan sangat memberi kekuatan padaku. Aku tidak mengenalnya. Hanya satu yang aku tahu, yaitu dia sangat baik dan ia bernama Kevin.

“Vin, kamu masih kuliah,” tanyaku satu kali.

“Tidak tante, orangtuaku tidak mampu membiayai kuliahku,” jawabnya.

“Kamu bekerja?” tanyaku lagi

“Iya, tante. Aku menjaga gudang pamanku,” jawabnya

“Sudah lama bekerja di sana?” tanyaku lagi.

“Lumayan tante, sudah tiga tahun sejak saya lulus SMA,” jawabnya

“Orangtuamu masih ada?” tanyaku

“Papa sudah tiada, tapi mama masih ada. Dia berjualan kue di pasar,” ceritanya.

“Oh, senangnya mamaku mempunyai anak seperti kamu yang peduli dengan orang-orang tua seperti tante,” kataku kemudian.

Pemuda ini tersenyum hangat. Dipegangnya tanganku erat.
“Jangan bersedih, tante. Satu kali saya akan ajak mama saya ke sini untuk menjadi teman tante,” katanya.

Aku tersenyum melamunkan anakku yang nyaris tak pernah menyapaku. Ia punya uang sehingga bisa menaruh aku di panti jompo ini tetapi ia hampir tak punya waktu untuk mengunjungiku. Aku maklum. Amerika kan sangat jauh dan biayanya pasti terlalu mahal. Sementara aku sendiri tidak ingin tinggal di sana bersama anakku. Hatiku ada di tanah air ini.

“Tante melamun apa?” tanya pemuda itu

“Oh, tidak. Aku teringat anakku yang tinggal jauh di negeri orang. Dia sangat jarang menyapa tante,” jawabku

“Mungkin anak tante sibuk. Ada yang bisa tante lakukan untuknya,” jawab pemuda itu.

“Melakukan apa?” tanyaku

“Tante bisa berdoa untuk dia,” jawabnya

“Berdoa untuknya?” tanyaku

“Iya, tante. Tuhan mendengar doa. Tuhan tahu kebutuhan tante dan kebutuhan anak tante. Dengan doa, tante bisa mendukung anak tante,” jawabnya tetap dengan senyumnya yang menawan.

“Hal itu juga yang kulakukan untuk ibuku,” jawabnya.

Suatu pemikiran baru muncul di benakku. Iya, anak muda ini benar. Aku akan mendoakan anakku dan keluarganya ketimbang aku meratapinya. Tiba-tiba suatu harapan baru muncul di hatiku. Ada yang masih bisa kukerjakan untuk anakku.

“Tante, sore ini indah sekali,” katanya. “Matahari berwarna kemerahan dan kekuningan, sangat indah. Seperti warna emas yang menghiasi bumi,” sambungnya dengan sangat antusias.

“Iya, indah sekali, tapi aku punya cerita tidak enak dengan mentari senja itu,” jawabku

“Cerita apa, tante?” tanyanya

Aku teringat kisah kepergian kakakku yang begitu tiba-tiba. Lalu aku menceritakan kepada pemuda ini tentang kisah sedih itu. Pemuda ini menyimak dengan tenang dan setelah ceritaku selesai, ia kembali menggenggam tanganku.

“Tante, satu kali mentari senja itu pasti akan tenggelam tapi hal itu tidak menakutkan, tante. Dibalik matahari yang tenggelam itu terbentang satu fajar yang sangat indah. Kakak tante sudah memasuki fajar abadi itu dan kitapun akan menyusul satu demi satu,” katanya

Aku termenung. Iya, dia  benar. Dibalik mentari senja yang tenggelam itu ada fajar abadi yang sangat indah. Ia tidak akan muncul sebelum mentari senja itu tenggelam. Alangkah indahnya menantikan munculnya fajar dibalik mentari senja itu.

“Kamu benar,” kataku. “Tante ingin cepat ke sana, dimana tidak ada airmata dan kesedihan,” sambungku. “Siapa tahu, esok matahari senja tante tenggelam dan kamu jangan bersedih. Saat itu kamu harus ingat bahwa tante sudah bersukacita di fajar abadi itu.”

Kulihat pemuda itu tersenyum dan mengangguk pelan.
“Kita tidak tahu kapan mentari senja itu akan tenggelam, tetapi yang pasti, fajar gemilang akan segera datang dan kita akan bersukacita di dalamnya. Jadi tante tidak boleh bersedih juga kalau mentari senjaku tenggelam lebih dulu,” katanya

Aku tertawa geli. “Mentari senjamu akan tenggelam?” tanyaku. “Munculpun belum,” kataku sambil tertawa.
“Ya, orang tidak pernah tahu, tante. Tapi tante janji kalau hal itu terjadi, tante jangan bersedih ya,” katanya dengan senyum yang simpatik.
“Tidak,” kataku. “Aku akan menangis keras-keras,” kataku masih dengan nada bercanda.
“Jangan, tante. Tante harus mengingat bahwa aku sudah berada dalam kebahagiaan abadi yang sejati,” katanya lagi.

Mentari senja telah tenggelam dan pemuda itu pamit untuk pulang………
Aku tengah merajut baju mungil untuk cucuku yang baru lahir dan aku berencana akan meminta keponakanku untuk mengirimkannya ke Amerika, kepada anakku.
“Sedang apa, oma?” sapa perawat panti dengan sangat ramah

“Oh, sedang merajut baju bayi buat cucuku yang baru lahir,” jawabku

“Wah senang sekali dapat cucu baru, perempuan ya oma?” tanyanya lagi.
“Iya, kok suster tahu?” tanyaku

“Ya tahu lah, masak cucu laki-laki dikasih warna pink,” jawabnya

“O iya, benar juga ya,” jawabku sambil menertawakan kebodohanku sendiri.

Tiba-tiba, suster itu memegang kedua tanganku dan mendekapnya dikedua telapak tangannya. Ia memandangku dengan mata berkaca-kaca.

“Ada apa, suster?” tanyaku heran

“Ada kabar duka, tapi oma harus tabah ya?” katanya kemudian

“Siapa yang meninggal? Jangan bilang itu anakku,” jawabku dengan tangan gemetar.

Suster itu menggeleng. “Bukan oma,” jawabnya

“Lalu, siapa, siapa yang meninggal?” tanyaku mendesak.

“Kevin, pemuda yang setia mengunjungi oma,” jawab suster itu.

“Hah?! Kevin meninggal?! Kemarin baru dia mengunjungiku. Kenapa?” tanyaku tak habis mengerti.

“Kemarin malam, pulang dari sini, dia sesak nafas. Kemudian dia dibawa ke rumah sakit dan disuruh cuci darah karena darahnya mengental di dalam tubuhnya, tetapi sudah terlambat,” cerita suster itu.

“Mengapa baru ketahuan?” tanyaku lagi

“Sebenarnya sudah agak lama dokter menganjurkan dia untuk cuci darah tetapi ia tidak pernah menceritakan hal itu kepada siapapun karena ia tidak mau memberatkan orang lain. Sungguh dia anak yang sangat baik,” jawab suster itu.

Aku termenung mendengar penjelasan suster itu tentang Kevin. Aku teringat akan percakapan kami sehari sebelumnya.

Senja itu, mentari senja masih menghiasi bumi dengan warnanya yang kemerahan, saat kami beramai-ramai pergi ke rumah duka. Beberapa opa-oma dari panti jompo menangis di samping jenazahnya yang beku dan biru. Wajahnya tersenyum terlihat bagaikan orang yang tidur dalam kedamaian abadi. Banyak orang kehilangan kehadirannya.

‘Kevin, matahari senjamu belum juga tiba tapi mengapa engkau tenggelam terlebih dahulu?’ kata hatiku. ‘Tapi aku tak akan menangis, karena aku tahu bahwa kamu sedang bersukacita di fajar abadi yang gemilang di sana.’

Sejak hari itu, tak ada lagi seorang pemuda yang datang untuk berbagi cerita denganku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mendengar ceritaku. Tak ada lagi seorang pemuda yang mengajakku berdoa bersama. Ia sudah pergi memasuki sukacita fajar keabadian, saat mentarinya yang masih tinggi tiba-tiba tenggelam ……. dalam satu hari ……

1 comment: