Friday, January 10, 2020

KISAH PAK GURU

Rumah kecil itu masih di situ. Pohon jambu itu juga masih di situ. Bangku di depan rumah itupun masih di situ. Angin semilir pun masih menyentuh rambutku. Aku melangkah menuju ke pintu rumah itu. Rasanya sudah sepuluh tahun aku tidak pernah mengunjungi penghuni rumah itu.
Perlahan kuketuk pintu rumah itu.
"Sebentar," kudengar suara pria dari dalam rumah.
"Pasti itu adalah ayah Rika," pikirku.
Perlahan pintu tua itu terbuka dan benar, kulihat ayah Rika berdiri di situ sambil terperangah menatapku.
"Selamat siang, om," kataku sambil menyalam tangannya.
Ayah Rika terus menatapku sepertinya ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Rivan? Kamu Rivan kan?" tanyanya
Aku mengangguk.
"Iya, om,"jawabku
Bapak tua itu memelukku.
"Kamu kemana saja, sudah berapa tahun kamu tak pernah tampak. Ayo masuk. Om bikinkan teh jahe kesukaanmu ya," katanya.
Aku masuk ke dalam rumah dan kulihat tatanan rumah itu masih sama. Bersih dan rapi. Aku teringat waktu masih SMA dulu aku sering main ke situ dan duduk di tepi danau di bawah pohon. Menikmati angin dusun yang sejuk.
"Bagaimana kabarmu sekarang, Van?" tanyanya
"Baik, om," jawabku
"Kamu kemana. saja selama ini?" tanyanya
"Saya kuliah, om. Setelah itu saya bekerja," jawabku.
"Oh iya, kamu pasti sudah menjadi orang sukses sekarang," sahutnya.
"Biasa saja, om. Saya masih Rivan yang dulu," jawabku
"Kamu kerja sebagai apa?" tanyanya lagi
"Sebagai guru SMA, om," jawabku
"Lho, kamu kan sarjana, kenapa jadi guru?" tanya om itu dg wajah heran.
Aku tak bisa menjawab pertanyaannya. Hal inilah yang menjadi alasan kenapa aku dimarahin oleh ayah dan ibuku. Hal inilah yang membuatku merasa tidak cocok dengan Indri, tunanganku yang sangat kaya. Keluarga Indri memaksaku meneruskan usaha keluarganya yang besar. Tp aku tidak bisa melawan suara hatiku yang terus mendesakku untuk berbuat hal yang lain. Menjadi guru. Ya, itulah panggilan hidupku.
"Rika ada, om?" tanyaku kemudian
"Oh, Rika belum pulang dari bekerja. Tunggu saja sebentar pasti dia datang," jawabnya
Aku terdiam.
"Nah itu dia datang," sambungnya.
Langkah2 ringan ke pintu membuat hatiku berdebar.
"Rika, ada yang datang nih," kata ayah Rika
"Oh, ada tamu besar rupanya," kudengar suara Rika renyah dan menyalamiku.
"Kamu ngobrol dulu ya, papa mau istirahat," kata ayah Rika sambil masuk ke kamar.
"Hai Van, apa kabar kok tumben kamu ke sini, ada apa geranga?" tanya Rika dengan tersenyum.
Aku terdiam
"Ada apa, Van? Kamu sendirian? Mana Indri, kok ga ikut," tanyanya lagi.
Rika masih seperti dulu. Masih cantik, baik, penuh perhatian. Hal-hal yang dulu menyebabkan aku mengasihinya masih jelas ada padanya.
"Kamu kenapa, Van? Anakmu sudah berapa?" tanyanya lagi.
Aku menunduk.
"Aku belum menikah," jawabku
"Lho, bukannya waktu itu kamu sudah bertunangan dengan Indri?" tanyanya.
"Ya," jawabku
"Terus?" tanyanya lagi
"Aku tidak bisa hidup dengan orang yang tidak mengenal perjuangan. Indri orang kaya. Yang dipikirkannya hanyalah belanja dan tamasya. Sedangkan aku tidak begitu. Kami sering bertengkar dan akhirnya aku tidak tahan, lalu aku permisi meninggalkannya," jawabku.
"Oh sorry," jawab Rika sambil menunduk
"Orangtuaku marah padaku karena orangtua Indri adalah rekan bisnis ayahku dan sudah sejak lama mereka mau menjodohkan kami. Orangtua Indri juga marah kepadaku dan juga kepada ayahku. Hubungan mereka terpecah gara² aku. Tp kupikir pernikahan adalah untuk seumur hidup dan aku tidak mau mempertaruhkan pernikahanku dengan orang yang tidak sejalan denganku," ceritaku.
Setelah diam sesaat, Rika kembali bertanya padaku:
"Sekarang kamu kerja dimana, Van?"
Tatapan matanya dari dulu sulit kulupakan, sejuk dan penuh pengertian.
"Aku menjadi guru di suatu SMA. Guru ekonomi," jawabku
"Apa?! Guru?!" tanya Rika tak percaya
"Iya, Ka. Aku tak bisa melupakan peristiwa itu," jawabku
"Peristiwa yang mana?" tanyanya
"Peristiwa yang membuatku memutuskan hubungan kita. Peristiwa yang membuatku menyakitimu."
Rika terdiam. Kupikir dia tahu peristiwa apa yang kumaksudkan.
"Aku mau minta maaf, Rika. Jujur aku tak bisa melupakan peristiwa saat teman kita Yose bunuh diri ketika orangtuanya bercerai. Dia adalah teman dekatku. Sejak peristiwa itu kamu bilang bahwa kamu ingin menjadi guru sehingga kamu bisa berbagi ilmu dan sedikit banyak bisa menjadi tempat berbagi bagi anak² muda yang bermasalah. Saat itu aku tidak setuju denganmu. Aku ingin kamu kuliah, bekerja dan kita bisa hidup bahagia, hidup dalam kecukupan, punya nama dan itu berarti tidak menjadi guru."
Rika masih terdiam. Tentu dia juga ingat saat aku mengancam untuk memutuskan hubungan dengannya kalau dia tetap mau menjadi guru.
"Aku mau menjadi guru, Rivan. Paling tidak aku bisa memberikan ilmu, hati dan perhatian pada segelintir orang yang kukenal," begitulah jawabanmu saat itu.
"Oke, kalau begitu kita putus!" bentakku saat itu. "Mungkin orang miskin kayak kamu memang cocok jadi guru, tapi aku tidak. Kita tidak cocok" sambungku saat itu.
Rika menangis saat itu dan aku meninggalkannya di teras kelas. Aku memilih pacaran dan akhirnya bertunangan dengan Indri.
Rika masih tertunduk diam.
"Rika, jujur aku tidak bisa melupakan Yose yang bunuh diri itu. Apalagi setelah itu aku masih menemukan orang-orang lain yang porak poranda hidupnya. Kebanyakan mereka begitu karena faktor keluarga. Terbersit dalam hatiku, seandainya saja aku bisa memberi sedikit sentuhan kasih kepada mereka. Hatiku terus mendesakku untuk melakukan sesuatu. Lama-lama aku tidah tahan. Lalu akhirnya aku memutuskan untuk meninggalkan pekerjaanku dan menerima panggilan hatiku menjadi seorang guru," begitulah aku mengakhiri ceritaku.
Setelah diam beberapa saat, Rika menatapku dan bertanya dengan tenang:"Sudah berapa lama kamu menjadi guru?"
"Tiga tahun," jawabku
"Lalu bagaimana dengan Indri?" tanya Rika lagi
"Dia sudah menikah dengan orang kaya dan tinggal di Singapura," jawabku
"Lalu kenapa kamu sekarang ke sini?" tanya Rika
"Aku mau minta maaf," jawabku
Rika tetap menatapku. Aku menunduk. Perlahan Rika menjawab:"Semuanya sudah berlalu. Adalah baik yang berakhir baik. Lupakanlah. Aku sudah memaafkanmu."
Plooong, hatiku merasa lega sekali mendengar jawabannya dan melihat kembali senyumnya yang tulus dan manis.
Tak terasa hari sudah senja. Aku berdiri dan pamit padanya. Ia tersenyum dan mengangguk.
"Hati² di jalan ya. Kamu orang yang hebat. Kamu pasti bisa menjadi teladan untuk murid-muridmu," kata Rika.
Aku menengok kembali kepadanya.
"Boleh satu kali aku datang lagi kesini?" tanyaku
"Untuk apa?" tanyanya
"Untuk menikmati angin senja di tepi danau," jawabku.
Rika tersenyum.
"Oh boleh, datanglah," jawabnya sambil melambaikan tangan.Sore itu aku kembali ke kota. Kulihat pelangi di ufuk barat kota masih ada ….

No comments:

Post a Comment